‘URF SEBAGAI
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
A. Pengertian
‘Urf
Secara etimologi Kata ‘Urf berarti
“sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara
terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan,istilahn ‘urf berarti:
ما ألفه المجتمع واعتا ده وسار عليه فى حياته من قول أو فعل
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa
perbuatan maupun perkataan”
Istilah ‘Urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah(adad istiadat).
Para ulama ushul fiqih membedakan
antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Adat didefenisikan dengan:
الأمر المتكر رمن غير علاقة عقلية
“sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tampa
adanya hubungan rasional”
Defenisi ini menujukkan bahwa
apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulan-ulang menurut hukun akal,
tidak dinamakan adat. Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu mencakup
persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti
kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu
atau permasalahan yang menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk.
Adapun ‘urf menurut ulama ushul
fiqih adalah:
عادة جمهور قوم في قول أوفعل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan”
Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa
Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam
Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania) mengatakan bahwa ‘urf merupakan baigian
dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus
berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan pada pribadi atau
kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku
dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman.
B. Menjelaskan Dasar Hukum
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid,
guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi
al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan
‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah,
dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya,
pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat
istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan
rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut,
sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan
dikalangan ulama.
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara lain :
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara lain :
Surat
al-a’raf ayat 199:
É‹è{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Jadilah
engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)
Kata al-‘Urf
dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Pada
dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu
dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta
ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang
dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah
berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan
hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
C. Macam-macam ‘Urf
Para ulama ushul fiqih membagi ‘urf kepada tiga macam yaitu:
1. Dari segi objeknya, ‘urf dibagi
kepada, al-‘urf al-lafzi ( kebiasaan yang menyangkut ungkapan),dan al-‘urf
al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. al-‘urf al-lafzi ( الفصظيالعرف) adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat.
b. al-‘urf al-amali ( العمليالعرف) adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
mu’amalah keperdaan. Yang dimaksut “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu
muinggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum
minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam
acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah
kebiasaan masyarat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu.
Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang
dibeli itu di antarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang
dibeli itu berat dan besar, seperti lemari dan peralatan rumah tangga lainya.
2. Dari segi cakupannya, ‘urf
terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yan bersifat umum) dan al-‘urf
al-khash ( kebiasaan yang bersifat khusus).
1. al-‘urf al-‘am ( العامالعرف) adalah kebiasaan tertentu yang berlaku
secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya dalam jual
beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci,
tang, dongkrak dan ban serap, termasuk dalam jual harga, tampa akad sendiri dan
biaya tambahan.
2. al-‘urf al-khash ( الخاصالعرف ) adalah kebiasaan ang berlaku didaerah
dan di masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedangang apabila
terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainya dalam barang itu, konsumen tidak dapat dikembalikan barang
tersebut, atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang
tertentu
3. Dari segi keabshannyadari
pandangan syara’, ‘urf terbagi
dua yaitu al-‘urf al-shahih (kebisaan yang dianggap sah) dan al-‘urf
al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)
a. al-‘urf al-shahih (العرف الصحيح)
adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash ( ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalnya: dalam masa
pertunangan pihak laki-laki memberi hadia kepada pihak wanita dan hadia ini
tidak di anggap sebagai mas kawin.
b. al-‘urf al-fasid (العرف الفا سد) adalah kebiasaan yang bertentangan
dengan dalil-dalil syara’dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Contohnya adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang
mnyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang
dilakukan seeorang ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang menangani
urusannya. Hal ini juga termasuk al-‘urf al-fasid.
D. Mendeskripsikan Kedudukan Atau Kehujjahannya
Sebagaimana yang telah dinyatakan
bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf
yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Adapun kehujjahan ‘urf
sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a. Firman Allah dalam surat Al-A’raf
(7): 199
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan
yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai
kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan
yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
1. Ucapan sahabat Rasulullah saw.,
Abdullah bin Mas’ud berkata:
فَمَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآه المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah
baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah
buruk di sisi Allah.”
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di
atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan
sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu
patut untuk dijaga dan dipelihara.
Dengan demikian, ulama merumuskan
kaidah hukum yang berkaitan dengan ‘urf antara lain sebagai berikut :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat menjadi
hukum.”
الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf,
(seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.”
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِى اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيْهِ إِلَى العُرْفِ
“Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak
ada pembatasan di dalamnya dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya,
maka dirujuk kepada ‘urf.”
Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf
itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang tidak ditemukannya ‘illah
secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf
itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian,
menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum.Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam
hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun dalam penggunaan
bahasa. Berikut ini beberapa contoh penerapan ‘urf dalam hukum Islam:
Pendapat ulama hanafiyyah yang
menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia
makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena
berdasarkan kebiasaan ‘urf, kata daging (لَحْمٌ)
tidak diartikan dengan kata ikan (سَمَكٌ).
Adapun contoh lainnya dalam
penggunaan ‘urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan baligh, tentang
ukuran sedikit banyaknya najis yang dima’afkan, atau tentang ukuran timbangan
yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang
lainnya berkenaan masalah ‘urf.
E. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf
baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’
apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam
mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum
dan khusus.
2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat
sebelumnya.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang
diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu
transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim
barang, sementara ‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung
ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga
menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf
seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf
baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan
yang dihadapi.
F. Menguraikan Kaidah-Kaidah Fiqih Tentang ‘Urf
Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang
menurut kami berhubungan dengan ‘urf. di antaranya adalah:
1. Adat itu adalah hukum (محكمة )العادة
2. Apa yang ditetapkan oleh syara’
secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam
bahasa maka ia dikembalikan kepada ‘urf
( ما ورد به الشرع مطلقا و لا ضابط له فيه و لا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف).
Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
و أمر بالعرف و اعرض عن الجاهلين (الأعراف
199)
Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari orang bodoh.
3. Tidak dingkari bahwa perubahan
hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat (لا
ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة)
4. Yang baik itu jadi ‘urf
seperti yang disyaratkan jadi syarat (المعروف
عرفا كالمشروط شرطا)
5. Yang ditetapkan melalui ‘urf
seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت
بالعرف كالثابت بالناص)
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum
disini bukanlah seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan
tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri
G. Mengapresiasi Implikasi Perubahan’urf
Hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf
itu sendiri dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada suatu masa atau perubahan
lingkungan. Oleh para fuqaha’ mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang
timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan
perbedaan ‘urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya.
Sebagai contoh di dalam mazhab
Syafi’i dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i. Hal ini
disebabkan perbedaan ‘urf di lingkungan tempat tinggal Imam Syafi’I sendiri.
Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan :
b. الحُكْمُ يَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالأَحْوَالِ وَالأَشْخَاصِ وَالبِيْئَاتِ
Suatu hukum
brubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu,
dan lingkungan.
Dengan demikian, pendapat yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku serta ketinggalan zaman adalah
salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya zaman. Namun perlu
diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini terjadi pada hukum
yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan dalil qath’i yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh ada perubahan,
seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, pengharaman riba, dan
sebagainya.
Hukum yang dapat berubah karena ‘urf
ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang
yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan
qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat
diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat
saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada
umumnya akhlak dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara.
Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada
masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan
akhlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar