Rabu, 22 Mei 2013

islam dan budaya jawa

INTERALISASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG POLITIK

Di susun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Rohmah Ulfa,












Di susun oleh :

Abdul Muhaimin (124211014)
Ahmad Amin (124211)




Fakultas Ushuludin
Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Proses masuknya Islam di Nusantara khususnya di tanah Jawa ini para sarjana dan peneliti sepakat bahwa islamisasi itu berjalan dengan damai. Hal ini dapat di lihat dari beberapa contoh metode penyebaran islam yang terdapat di pulau jawa oleh juru dakwah yang terkenal yaitu Walisongo dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan – kepercayaan setempat. Dan terdapat pula beberapa teori yang mengatakan islamisasi di nusantara ini dari para pedagang  gujarat yang bersinggah di wilayah - wilayah tersebut.[1] Dengan melihat beberapa teori ini maka dapat di artikan bahwa Islam sangat mudah diterima di Jawa.
Karena masuknya Islam di Jawa itu, maka ini akan mempengaruhi berbagai bidang, termasuk politik. Pengaruh Islam di Jawa pada bidang politik menjuruskan pada kegiatan umat untuk usaha mendukung dan melaksanakan syari’at Allah SWT. Melalui system kenegaraan dan pemerintahan. Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia juga tidak lepas dari politik yang dijalankan oleh para penguasa kerajaan pada masa itu.[2]
            Dari ulasan diatas, kami akan mencoba menjelaskan tentang apa yang masih dalam  interelasi nilai jawa dan islam dalam bidang politik.
B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Perkembangan kerajaan – kerajaan islam di jawa?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kerajaan – Kerajaan Islam Di Jawa
Dalam uraian pembahasan masalah ini akan di jelaskan beberapa kerajaan Islam yang terdapat di tanah Jawa.
1.      Kerajaan Demak
Dalam historiografi tradisional Jawa, Pendiri Kerajaan Demak ialah Raden Patah. Dia adalah seorang putra raja Majapahit dari Istri Cina. Dia mampu mendirikan kerajaan Islam yang di bantu dari daerah – daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik dia juga dapat meruntuhkan Majapahit.
Selanjutnya, Demak menjadi pusat dan benteng Islam untuk wilayah barat dan Giri untuk wilayah timur. Akan tetapi, Kerajaan Demaklah yang menjadi pemimpin seluruh pesisir dalam usaha menanam kekuatan di Jawa.
Reden Patah memimpin kerajaan selama kira – kira delapan belas tahun. Dan berjuang melawan portugis walaupun gagal. Dan di tengah perjuangan itulah Raden Patah Wafat. Kemudian digantikan oleh anaknya Adipati Unus. Dia memerintah selama tiga tahun. Sebagai penggantinya adalah Sultan Trenggana, saudara Adipati unus. Dia memegang kekuasaan dari tahun 1521 – 1546. Dan Pada masanya, kerajaan di perluas ke barat sampai daerah Banten dan ke Timur sampai daerah Malang.
Namun, setelah Sultan Trenggana wafat, terjadilah pertengkaran hebat tentang calon penggantinya. Yaitu di antara anak dari Trenggana (Pangeran Prawoto) dengan adik Trenggana (Pangeran Sedaing Lepen). Kemudian adik Trenggana terbunuh dan Pangeran Prawoto juga terbunuh oleh Arya Panangsang. Inilah tanda berakhirnya kerajaan Demak. Yang kemudian Keraton Demak di Pindah Ke Pajang oleh Adi Wijaya (Jaka Tingkir) yang sebelumnya telah membunuh Arya Panangsang.[3]
2.      Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir di sahkan sebagai raja pertama oleh Sunan Giri[4]. Setelah menjadi raja, ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak di pindah ke Pajang. Sehingga ia memindah pusat kekerajaan dari pesisir ke pedalaman.[5]
Pada masanya, kekuasaannya diperluas sampai tanah pedalaman ke arah timur hingga daerah Madiun. Setelah itu secara berturut-turut ia menundukkan Blora dan Kediri. Sehingga ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting yang berada di Jawa Timur.[6]
Setelah Sultan Adi Wijaya itu wafat, kemudian di gantikan oleh oleh menantunya, Aria Pangiri. Sementara itu, anak Sultan Adi Wijaya, Pangeran Benawa, di jadikan penguasa di Jipang. Akan tetapi, anak muda ini tidak puas dengan nasibnya berada di lingkungan yang masih asing baginya. Dan akhirnya Pangeran Benawa meminta bantuan kepada senopati, penguasa Mataram, untuk mengusir raja Pajang yang baru itu. Pada tahun 1588, usahanya telah berhasil. Sebagai rasa terima kasih, Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada Senopati. Akan tetapi Senopati menolaknya karena keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram. Mataram pada waktu itu memang masih dalam proses menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pangeran Benawa akhirnya di kukuhkan menjadi raja Pajang, tetapi berada di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Dan sejak itulah, Pajang sepenuhnya menjadi berada di bawah kekuasan Mataram[7]
Masa kerajaan Pajang berakhir pada tahun 1618. Pada waktu itu, kerajaan Pajang memberontak terhadap Mataram yang masih di pegang oleh Sultan Agung. Sampai pada akhirnya Pajang dihancurkan. [8]
3.      Kerajaan Mataram
Awal mula kerajaan ini berdiri ketika Sultan Adi Wijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamenahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah kepadanya, maka diberilah daerah Mataram untuknya.[9]
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamenahan menempati istananya di Mataram. Setelah itu  di gantikan oleh putranya, Senopati pada tahun 1584 yang di kukuhkan oleh Sultan Pajang. Senapati-lah yang dianggap sebagai sultan pertama setelah sultan Benawa menawarkan kekuasaan atas Pajang walaupun ia menolaknya dan hanya meminta pusaka kerajaan, yang diantaranya Gong Kiai Jatayu. Namun dalam tradisi Jawa ini, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.[10]
Senopati kemudian berkeinginan menguasai juga semua raja bawahan pajang, tetapi itu di tolak oleh para raja Jawa Timur. Melalui perjuangan berat dan peperangan-peperangan, barulah ia berhasil menguasai sebagian daripadanya.[11]
Setelah Senapati wafat tahun 1601, di gantikanlah oleh anaknya, Seda Ing Krapyak sampai tahun 1613 M. Kemudian diganti oleh puteranya, Sultan Agung. Pada masa ini, seluruh Jawa Timur praktis berada di bawah kekuasaanya.[12] Sultan Agung memegang kekuasaan sampai akhir ajalnya tahun 1645 M. Namun setelah Sultan Agung wafat, penggantinya lemah-lemah, kejam, dan melekukan perjanjian dengan Belanda. Akibatnya hal ini menimbulkan banyak kekacauan.[13]
Dalam pertengahan pertama abad XVII, Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan tahta. Sehingga mengakibatkan perpeacahan dalam kerajaan. Yang pada akhirnya Mataram telah terbagi menjadi dua kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. [14]
4.      Kerajaan Cirebon
Pendiri kerajaan ini adalah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Tapi tidak ada kepastian ia membuat keraton besar disana. Karena Syarif Hidayatullah masih bertempat di Banten. Sementara Cirebon di serahkan kepada anaknya, Paserayan. Baru setelah Paserayan wafat, Syarif Hidayatullah berpindah ke Cirebon.[15]
Pada tahun 1570 M, Syarif Hidayatullah wafat. Dan digantikan oleh Pangeran Ratu. Namun pada paruh ke dua abad XVII, mulai ada perpecahan-perpecahan wilayah yang masingg-masing mempunyai kekuatan sendiri.[16]
Pada masa kerajaan Cirebon bidang kesastraan telah berkembang dan sangat memikat perhatian. Seperti adanya nyanyian islam yang disebut suluk yang mengandung mistik.
Pada akhirnya tahun 1527 kerajaan di serahkan kepada kumpeni (VOC). Sehingga wilayah-wilayah kerajaan Cirebon yang terpecah-pecah itu menjadi dibawah kepemerintahan kolonial Belanda.[17]
5.      Kerajaan Banten
Pada masa kerajaan Demak, sultan Trenggana mengutus Syarif Hidayattullah untuk menaklukan kerajaan Hindu di Pajajaran. Setelah itu diberikanlah wilayah banten itu kepadanya. Sehingga ia sekaligus mendirian kerajaan Banten pada tahun 1524.[18]
Pada tahun 1527, di bawah Sultan Hasanudin yang juga merupakan salah satu pendiri kerajaan Banten telah menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa yang sekarang disebut Kota Jakarta. Yang mana peristiwa ini menggagalkan usaha kontak perjanjian bangsa Portugis dengan raja Sunda.[19]
Setelah meninggalnya Sultan Hasanudin, kerajaan dipimpin oleh  puteranya, Maulana Yusuf. Pada masanya, ia dapat menaklukan kerajaan Pakuwan. Setelah ia wafat, pimpinan kerajaan di ganti oleh adiknya, Maulana Muhammad. Akan tetapi pada umur 25 tahun, ia wafat dan di gantikan oleh puteranya, Abdul Kadir yang masih berusia beberapa bulan. Dan akhirnya Banten diperintah oleh yang lebih tua sebagai walinya. Ternyata, soal perwalian ini menjadi perebutan dan perselisihan. Sampai akhirnya terdapat orang kuat yang bernama Pangeran Rana Manggala yang dapat mengendalikan pemerintahan dari tahun 1608 – 1624. Titik lemah kerajaan Banten ini ketika saat dalam perebutan penggantian wali, sehingga ini memberi kesempatan kepada kapal – kapal Belanda dan Inggris yang tiba di Banten. Pada tahun 1619, Jakarta direbut Belanda. Dan pada abad XVII menghawatirkan serangan-serangan dari kerajaan-keajaan lain. Sehingga kekuasaan Belanda di Jakarta membawa keamanan bagi raja-raja Banten.[20]



[1] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 33-34.
[3] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 76 - 81
[4] Ibid, hlm.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003) hlm. 213
[6] Ibid, hlm. 213
[7] Ibid, hlm. 213-214
[8] Ibid, hlm. 214
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm. 215
[13] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 86
[14] Ibid, hlm. 87
[15] Ibid, hlm. 88
[16] Ibid, hlm. 89
[17] Ibid, hlm. 87
[18] Saifullah, Sejarah Peradaban Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 31
[19] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 90
[20] Ibid, hlm. 92

interelasi islam dan budaya jawa.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Proses masuknya Islam di Nusantara khususnya di tanah Jawa ini para sarjana dan peneliti sepakat bahwa islamisasi itu berjalan dengan damai. Hal ini dapat di lihat dari beberapa contoh metode penyebaran islam yang terdapat di pulau jawa oleh juru dakwah yang terkenal yaitu Walisongo dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan – kepercayaan setempat. Dan terdapat pula beberapa teori yang mengatakan islamisasi di nusantara ini dari para pedagang  gujarat yang bersinggah di wilayah - wilayah tersebut.[1] Dengan melihat beberapa teori ini maka dapat di artikan bahwa Islam sangat mudah diterima di Jawa.
Karena masuknya Islam di Jawa itu, maka ini akan mempengaruhi berbagai bidang, termasuk politik. Pengaruh Islam di Jawa pada bidang politik menjuruskan pada kegiatan umat untuk usaha mendukung dan melaksanakan syari’at Allah SWT. Melalui system kenegaraan dan pemerintahan. Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia juga tidak lepas dari politik yang dijalankan oleh para penguasa kerajaan pada masa itu.[2]
            Dari ulasan diatas, kami akan mencoba menjelaskan tentang apa yang masih dalam  interelasi nilai jawa dan islam dalam bidang politik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Sistem Politik Dalam Perjalanan Sejarah Politik Di Jawa
2.      Bagaimana Kondisi Struktur Masyarakat Jawa
3.      Sistem Politik Di Jawa
4.      Sinkretisme Politik Jawa Islam
5.      Perkembangan Kerajaan – Kerajaan Islam Di Jawa?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem Politik Dalam Perjalanan Sejarah Politik Di Jawa[3]
Menurut Legge agama Islam menjadi menarik bagi kota-kota pesisir dari dua segi. Di situ pihak sebagai lambang perlawanan sebagai majapahit, di lain pihak. Karena agama islam merupakan alternatif dari keseluruhan pandangan dunia hindu. Islam membawa manusia berhadapan muka dengan Allah tanpa adanya imamat atau ritual yang ruet. Islam mempunyai satu ajaran kesamaan yang sangat ampuh untuk mencairkan tatanan hirarkis masyarakat majapahit.
Pada tahun 1526 Bantam, Jawa barat,memeluk agama Islam dan berkembang menjadi Negara yang kuat. Pada waktu yang sama Demak, Jawa Tengah yang pada tahun 1511 telah menjadi kesultanan,  menjadi kekuasaan utama pesisir Utara Jawa. Di hadapkan dengan pilihan antara kaum Portugis dan agama Kristiani, atau Demak dan Agama Islam, pangeran-pangeran Hindu Pedalaman Jawa memilih yang kedua.
Dengan di terima agama islam, kraton-kraton di pedalaman Jawa sekali lagi lebih unggul terhadap kesultanan-kesultanan di pesisir Utara. Pada akhir abad ke XIV senopati dari mataram berhasil memperluas pengaruhnya sampai ke Kediri. Beberapa tahun kemudian demak di taklukan agung cucu senopati, menghancurkan kota-kota perdagangan pesisir Utara dan menaklukan Kepulauan Jawa, kecuali Batam dan Blambangan di ujung utara pulau Jawa. Penghancuran kota-kota perdagangan di pulau jawa Utara oleh Mataram mempercepat kematian perdagangan-perdagangan Jawa antar pulau yang bagaimanapun juga sudah sangat terdesak Oleh Oost Indische Compagnie. Jawa Tengah dengan mentalitas Politiknya yang terarah kedalam kembali menjadi pusat kehidupan politik, budaya, dan ekonomi Jawa.
Selama 150 tahun berikutnya kekuasaan mataram terus menyusut. Perselisihan seksesi memecahbelahkan kerajaan, mengakibatkan kraton beberapa kali pindah dan hampir tak terasa membawa Oost Indische Compagnie belanda yang sejak tahun 1619  bermukim di Jakarta keposisi yang semakin besar karena bantuannya selalu di minta oleh pangeran-pangeran yang berkelahi. Lama-kelamaan Belanda mengambil alih hampir seluruh Jawa timur dari kerajaan Mataram. Mataram hanya memiliki kekuasaan yang terbatas dalam satu wilayah yang luasnya kurang lebih 10.000 kilometer persegi hanya pemerintahan hamengkubuwono IX di Yogyakarta yang masih mempunyai arti politik. Sebagai penghargaan atas perang kemerdekaan, beliau di angkat sebagai kepala daerah dan wakilnya Paku Alam. Pada waktu itu hampir seluruh pulau jawa beragama Islam tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat islam yang paling besar adalah kota-kota pesisir utara. Terdapat kampung-kampung santri. Walaupun kraton resmi memeluk agama Islam tetapi dalam tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol.
Pada akhir abad XIX situasi itu mulai berubah. Sementara itu, tanah jawa seluruhnya di kuasai oleh Belanda. Sejak permulaan Cuturstelsel Rakyat di desa  semakin tertekan secara ekonomis karena belanda dalam rangka politik Indirect  menyerahkan pelaksanaan penarikan upeti kepada elit-elit priyayi dalam negri, elit itu dalam pandangan masyarakat di hubungkan dengan penjajah, juga lurah, kepala desa, semakin  menjadi pemerintah kolonial terhadap warga desa. Barangkali identifikasi elite-elite pribumi dengan kekuasaan penjajah menjadi salah satu alasan mengapa pengaruh-pengaruh kiyai-kiyai dan ulama’ sejak semula musuh kaum penjajah yang paling tak terdamaikan. Di lain pihak, hubungan yang semakin besar dengan Negara-negara Timur Tengah,terutama sesudah pembukaan terusan Suez yang mengakibatkan suatu gerakan pembaharuan dalam agam Islam Indonesia sendiri. Kemurnian agama Islam semakin di ragukan. Mistik Jawa yang memang heterodoks tetapi memandang diri sebagai ungkapan keagamaan Islam lagi. Dengan sendirinya polarisasi antara aliran kebudayaan santri dan yang tetap berpegang pada aliran jawa semakin terasa. Maka  kaum priyayi dan rakyat jawa semakin menyadari ke khasan kejawaan dan mulai menghidupkan budaya masa lampau sampai saat ini hanya menjadi ungkapan dua sikap yang memang berbeda.
Tendensi itu masih diperkuat oleh gerakan kebangitan nasional pada abad XX. Organisasi nasional yang masih belum bersifat politik, Budi Utomo , dari Tahun 1908 bertujuan memajukan cita-cita kebuayaan jawa. Pada tahun 1913 di bentuk pengelompokan politik pertama denagan nama Sarekat Islam. Dalam waktu sepuluh tahun dalam kelompok SI terjadi konfrontasi antar ormas yang berpedoman agama Islam dengan komunis. Dan akhirnya faham komunis memisahkan diri. Sejak itu politik Indonesia berkembang menurut garis Islam dan abangan. Pasca kemerdekaan, polarisasi itu berapa kali mengakibatkan krisis-krisis yang berat. Sejak semuala muncul sistem-sistem Islam radikal yang menolak Indonesia yang baru  lahir sebagai kafir. Pada tahun 1950 kelompok itu di bawah pimpinan Kartosuwiryo, orang asal jawa timur  memulai pemberontakan di bawah bendera Darul Islam di Jawa Barat yang meluas ke Aceh dan Sulawesi Selatan. Betapa mendalam perbedaan antara kelompok-kelompok yang berpedoman jawa dan berpedoman islam dalam masyararakat jawa dapat diamati oleh Clifford Geertz dan Robert Jay pada waktu meraka mengadakan penelitian di jawa timur pada permulaan tahun lima puluhan. Jay menceritakan bagaimana mereka dalam desa taman sari tempat dia tinggal, dua dukuh di sebelah barat laut beraliran Islam ortodoks dan timur dan selatan beraliran Jawa. Padahal dukuh ini masih satu kompleks perumahan sebesar dua kali satu kilometer. Hubungan antara dua desa itu sangat jelek sehingga penduduk desa yang bergaul dengan rekan-rekan kedua belah pihak dan orang-orang yang ingin perggi ke kota lebih baik melewati jalan yang jauh daripada melewati jalan dukuh terssebut. Dua puluh tahun yang lalu koentjaraningrat menulis tentang adanya dua subkultur dengan pandangan dunia ,nilai-nilai dan orientasi-orientasi yang berlawanan didalam keseluruhan kebudayaan jawa.
B.     Struktur Masyarakat Jawa
 D.H. Burger dalam bukunya “Perubahan-Perubahab Struktur dalam Masyrakat Jawa” menulis bahwa struktur masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata. Raja menjadi kedudukan yang tertinggi.[4]
Segala sesuatu ditanah Jawa, bumi tempat hidup, air yang diminum, rumput, daun, dan lain-lain yang ada di bumi adalah milik raja. Lebih lanjut Pangeran Puger mengatakan bahwa raja adalah wakil atau penjelmaan Tuhan. Untuk lebih meyakinkan diri bahwa kedudukannya sah dan aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan pusaka yang ada padanya dan yang dapat menjadi sumber kesaktian bagi dirinya dan kewibawaan bagi pemerintahannya. Raja berkuasa karena ia dianugerahi wahyu kedaton (wahyu khusus bagi calon raja) oleh tuhan, yang katanya dinyatakan dalam bentuk cahaya. Mungkin sekali konsep-konsep mengenai kedudukan kedudukan raja ini berakar dai kebudayaan Hindu, walupun pada zaman Mataram banyak konsep diambil dari agama Islam, terutama dari segi mistik. Mistik Islam dijadikan dasar untuk menjelaskan hubungan antara rakyat dan raja. Menurut praktek mistik sufi, tujuan manusia yang tertinggi adalah untuk bersatu dengan tuhan atau manunggaling kawula gusti.
Inilah yang menyebabkan orang yawa memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan rasional tetapi emosional. Oleh karena itu, kharisma lebih penting dari pada kemampuan dalam memimpin, wajar jika pemimpin kharismatik lebih disukai dari pada pemimpin rasional. Dalam konteks keagamaan pun kehidupan seperti ini tampak kuat, terutama di lingkungan pesantren. Hal ini memperlihatkan betapa kuatnya posisi seorang kiai yang sering juga menampilkan kehidupan yang cendrung feodalime. Tidak mengherankan jika kemudian sulit membedakan antara sopan santun dengan perilaku feodal.
           
C.    Sistem Politik Di Jawa
Secara administratif, desa di Jawa disebut kelurahan yang dikepalai oleh seorang lurah istilah untuk daerah lainnya adalah petinggi. Kelompok desa (15 sampai 25 desa) membentuk suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan. Kecamatan ini dikepalai seorang pamong praja yang disebut camat. Di bawah kabupaten ada kesatuan daerah yang disebut kawedanan yang dikepalai seorang wedanan. Sebuah kawedanan terdiri dari beberapa kecamatan. Namun, tidak di setiap daerah ada kawedanan. Di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, kepala desa dan pembantunya (pamong desa) mempunyai dua tugas pokok, yaitu tugas kesejahteraan desa dan tugas kepolisian untuk memelihara ketertiban desa. Lurah dipilih dari dan oleh penduduk desa sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan memilih dan dipilih yang berlaku. Untuk memelihara dan membangun desa, para pamong desa di Jawa sering meminta bantuan penduduk desa untuk bekerja sama dalam gugur gunung atau kerik desa. Dengan cara ini, mereka membuat, memperbaiki, atau memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan sekolah, balai desa, menggali saluran air, merawat makam desa, masjid atau surau, dan mengadakan upacara bersih desa. Yogyakarta merupakan wilayah yang berstatus kerajaan. Rajanya bergelar Sultan. Untuk menyesuaikannya dengan garis politik RI yang berdiri sejak 1945, status kesultanan Yogyakarta diubah menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepala pemerintahannya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pemerintahan di Yogyakarta diatur dalam UU No. 3 tahun 1950. Di Jawa, seorang lurah biasanya dibantu oleh:
1. Carik, yang bertugas sebagai pembantu umum dan sekretaris desa.
2. Sosial, yang bertugas memelihara kesejahteraan penduduk, baik rohani
maupun jasmani.
3. Kemakmuran, yang mempunyai kewajiban memperbesar produksi pertanian.
4. Keamanan, yang bertanggung jawab atas ketentraman lahir batin penduduk desa.
5. Kaum, yang mengurus soal nikah, talak, rujuk, serta kegiatan keagamaan.
            D. Sinkretisme Politik Jawa Islam
Simbol sinkretisme politik jawa islam tampak mencolok pada gelar-gelar raja di jawa islam seperti gelar sultan, kalifatullah sayyidin panatagama, tetunggul khalifatul mu’minin , susuhunan dan sebagainya.[5]
Gelar Ratu Tetunggul Khalifatullah[6] dipakai oleh sunan Giri ketika menjadi raja pada masa transisi antara dari kerajaan Majapahit ke kerajaan islam demak . Sunan Giri berkuasa dalam keadaan vakum. Pada masa ini tidak ada pimpinan yang berdaulat , baik dari raja hindu maupun islam . kerajaan Majapahit yang hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang nantinya kerajaan Islam Demak belum berdiri. Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu empat puluh hari pasca keruntuhan Majapahit tahun 1478 M oleh serangan seorang raja Grinderawardhana dan Keling Kediri. Setelah masa peralihan 40 hari ini, Sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam yang permanent yaitu Raden Fatah. Dialah raja kerajaan Islam Demak.
Ada beberapa analisis mengapa Sunan Giri yang seorang wali berkenan menjadi raja pada waktu itu, padahal dia bukan keturunan raja. Pertama, mengkhiaskan dengan nabi Yusuf AS yang juga bukan keturunan raja, tetapi naik tahta, mereka memproklamasikan diri sebagai raja dalam keadaan sudah ada raja karena mengibaratkan diri mereka pada nabi Musa AS yang menamakan diri sebagai raja menandingi kerajaan Fir’aun. Seorang muslim tidak boleh mengambil seorang kafir menjadi pimpinan. Kedua, para wali khususnya sunan giri nampaknya berkeyakinan bahwa tidak baik suatu komunitas tanpa pemimpin , entah pemimpin itu mukmin ataupun kafir. Umat yang berpemimpin lebih baik bahkan jika pemimpin itu dzalim sekalipun. Jika diruntut pada masa klasik islam, Ibnu Taimiyyah sebagai mana dikutip oleh Fazlur Rahman, pernah mengatakan bahwa enam puluh hari dibawah pemimpin yang dzalim masih lebih baik dari pada satu malam tanpa pemimpin.[7] Ibn Khaldun dalam muqadimahnya juga mengatakan bahwa menyangkut suatu pemimpin bagi suatu komunitas itu wajib.
Ketiga, Sunan Giri hanya mengantarkan keadaan transisi menuju berdirinya kerajaan Islam Demak. Buktinya dia hanya berkuasa 40 hari, setelah keadaan mapan kekuasaan diberikan kepada Raden Fatah yang masih keturunan raja Brawijaya Kertabumi. Jadi jika kemudian para wali yang suci tampil sebagai penguasa Negara atau pemimpin politik itu hanya bermotifkan Yekti Mung Amrih Ayu bukan tujuan dan tugas pokok mereka. Sebagai mana nabi Muhammad menjadi kepala Negara disamping menjadi Rasul. Tugas wajib beliau adalah menyampaikan risalah bukan pemimpin politik adapun kalau kemudian beliau diangkat sebagai pemimpin Negara adalah karena kemampuan beliau dalam memimpin diakui oleh umat, baik muslim maupun non muslim ketika itu.  Simbol sinkretisme politik islam jawa juga terdapat pada raja-raja jawa yang dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono, istilah sultan dari bahasa arab sulthan yang berarti raja atau penguasa menjadi istilah dalam kerajaan-kerajaan islam diarab pada masa lalu. Sri Sultan Hamengkubuwono selain sebagai raja ( kekuasaan politik ) juga sebagai sayyidin panatagama ( pemimpin agama ). Dengan demikian raja yogya juga Islam karena tidak mungkin non islam menjadi sayyidin panatagama, sebab yang dimaksud dengan sayyidin panatagama disini adalah panatagama untuk islam . inilah strategi pollitik jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses islamisasi dengan cara yang amat arif, cultural, walaupun sinkretis. Dalam konstalasi perpolitikan nasional Indonesia sinkretisme politik jawa islam tetap berlangsung khususnya pada rezim Soeharto. Simbol-simbol dan istilah jawa menjadi simbol-simbol politik nasional.
E.     Kerajaan – Kerajaan Islam Di Jawa
Dalam uraian pembahasan masalah ini akan di jelaskan beberapa kerajaan Islam yang terdapat di tanah Jawa.


1.      Kerajaan Demak
Dalam historiografi tradisional Jawa, Pendiri Kerajaan Demak ialah Raden Patah. Dia adalah seorang putra raja Majapahit dari Istri Cina. Dia mampu mendirikan kerajaan Islam yang di bantu dari daerah – daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik dia juga dapat meruntuhkan Majapahit.
Selanjutnya, Demak menjadi pusat dan benteng Islam untuk wilayah barat dan Giri untuk wilayah timur. Akan tetapi, Kerajaan Demaklah yang menjadi pemimpin seluruh pesisir dalam usaha menanam kekuatan di Jawa.
Reden Patah memimpin kerajaan selama kira – kira delapan belas tahun. Dan berjuang melawan portugis walaupun gagal. Dan di tengah perjuangan itulah Raden Patah Wafat. Kemudian digantikan oleh anaknya Adipati Unus. Dia memerintah selama tiga tahun. Sebagai penggantinya adalah Sultan Trenggana, saudara Adipati unus. Dia memegang kekuasaan dari tahun 1521 – 1546. Dan Pada masanya, kerajaan di perluas ke barat sampai daerah Banten dan ke Timur sampai daerah Malang.
Namun, setelah Sultan Trenggana wafat, terjadilah pertengkaran hebat tentang calon penggantinya. Yaitu di antara anak dari Trenggana (Pangeran Prawoto) dengan adik Trenggana (Pangeran Sedaing Lepen). Kemudian adik Trenggana terbunuh dan Pangeran Prawoto juga terbunuh oleh Arya Panangsang. Inilah tanda berakhirnya kerajaan Demak. Yang kemudian Keraton Demak di Pindah Ke Pajang oleh Adi Wijaya (Jaka Tingkir) yang sebelumnya telah membunuh Arya Panangsang.[8]
2.      Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir di sahkan sebagai raja pertama oleh Sunan Giri[9]. Setelah menjadi raja, ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak di pindah ke Pajang. Sehingga ia memindah pusat kekerajaan dari pesisir ke pedalaman.[10]
Pada masanya, kekuasaannya diperluas sampai tanah pedalaman ke arah timur hingga daerah Madiun. Setelah itu secara berturut-turut ia menundukkan Blora dan Kediri. Sehingga ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting yang berada di Jawa Timur.[11]
Setelah Sultan Adi Wijaya itu wafat, kemudian di gantikan oleh oleh menantunya, Aria Pangiri. Sementara itu, anak Sultan Adi Wijaya, Pangeran Benawa, di jadikan penguasa di Jipang. Akan tetapi, anak muda ini tidak puas dengan nasibnya berada di lingkungan yang masih asing baginya. Dan akhirnya Pangeran Benawa meminta bantuan kepada senopati, penguasa Mataram, untuk mengusir raja Pajang yang baru itu. Pada tahun 1588, usahanya telah berhasil. Sebagai rasa terima kasih, Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada Senopati. Akan tetapi Senopati menolaknya karena keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram. Mataram pada waktu itu memang masih dalam proses menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pangeran Benawa akhirnya di kukuhkan menjadi raja Pajang, tetapi berada di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Dan sejak itulah, Pajang sepenuhnya menjadi berada di bawah kekuasan Mataram[12]
Masa kerajaan Pajang berakhir pada tahun 1618. Pada waktu itu, kerajaan Pajang memberontak terhadap Mataram yang masih di pegang oleh Sultan Agung. Sampai pada akhirnya Pajang dihancurkan. [13]
3.      Kerajaan Mataram
Awal mula kerajaan ini berdiri ketika Sultan Adi Wijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamenahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah kepadanya, maka diberilah daerah Mataram untuknya.[14]
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamenahan menempati istananya di Mataram. Setelah itu  di gantikan oleh putranya, Senopati pada tahun 1584 yang di kukuhkan oleh Sultan Pajang. Senapati-lah yang dianggap sebagai sultan pertama setelah sultan Benawa menawarkan kekuasaan atas Pajang walaupun ia menolaknya dan hanya meminta pusaka kerajaan, yang diantaranya Gong Kiai Jatayu. Namun dalam tradisi Jawa ini, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.[15]
Senopati kemudian berkeinginan menguasai juga semua raja bawahan pajang, tetapi itu di tolak oleh para raja Jawa Timur. Melalui perjuangan berat dan peperangan-peperangan, barulah ia berhasil menguasai sebagian daripadanya.[16]
Setelah Senapati wafat tahun 1601, di gantikanlah oleh anaknya, Seda Ing Krapyak sampai tahun 1613 M. Kemudian diganti oleh puteranya, Sultan Agung. Pada masa ini, seluruh Jawa Timur praktis berada di bawah kekuasaanya.[17] Sultan Agung memegang kekuasaan sampai akhir ajalnya tahun 1645 M. Namun setelah Sultan Agung wafat, penggantinya lemah-lemah, kejam, dan melekukan perjanjian dengan Belanda. Akibatnya hal ini menimbulkan banyak kekacauan.[18]
Dalam pertengahan pertama abad XVII, Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan tahta. Sehingga mengakibatkan perpeacahan dalam kerajaan. Yang pada akhirnya Mataram telah terbagi menjadi dua kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. [19]
4.      Kerajaan Cirebon
Pendiri kerajaan ini adalah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Tapi tidak ada kepastian ia membuat keraton besar disana. Karena Syarif Hidayatullah masih bertempat di Banten. Sementara Cirebon di serahkan kepada anaknya, Paserayan. Baru setelah Paserayan wafat, Syarif Hidayatullah berpindah ke Cirebon.[20]
Pada tahun 1570 M, Syarif Hidayatullah wafat. Dan digantikan oleh Pangeran Ratu. Namun pada paruh ke dua abad XVII, mulai ada perpecahan-perpecahan wilayah yang masingg-masing mempunyai kekuatan sendiri.[21]
Pada masa kerajaan Cirebon bidang kesastraan telah berkembang dan sangat memikat perhatian. Seperti adanya nyanyian islam yang disebut suluk yang mengandung mistik.
Pada akhirnya tahun 1527 kerajaan di serahkan kepada kumpeni (VOC). Sehingga wilayah-wilayah kerajaan Cirebon yang terpecah-pecah itu menjadi dibawah kepemerintahan kolonial Belanda.[22]
5.      Kerajaan Banten
Pada masa kerajaan Demak, sultan Trenggana mengutus Syarif Hidayattullah untuk menaklukan kerajaan Hindu di Pajajaran. Setelah itu diberikanlah wilayah banten itu kepadanya. Sehingga ia sekaligus mendirian kerajaan Banten pada tahun 1524.[23]
Pada tahun 1527, di bawah Sultan Hasanudin yang juga merupakan salah satu pendiri kerajaan Banten telah menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa yang sekarang disebut Kota Jakarta. Yang mana peristiwa ini menggagalkan usaha kontak perjanjian bangsa Portugis dengan raja Sunda.[24]
Setelah meninggalnya Sultan Hasanudin, kerajaan dipimpin oleh  puteranya, Maulana Yusuf. Pada masanya, ia dapat menaklukan kerajaan Pakuwan. Setelah ia wafat, pimpinan kerajaan di ganti oleh adiknya, Maulana Muhammad. Akan tetapi pada umur 25 tahun, ia wafat dan di gantikan oleh puteranya, Abdul Kadir yang masih berusia beberapa bulan. Dan akhirnya Banten diperintah oleh yang lebih tua sebagai walinya. Ternyata, soal perwalian ini menjadi perebutan dan perselisihan. Sampai akhirnya terdapat orang kuat yang bernama Pangeran Rana Manggala yang dapat mengendalikan pemerintahan dari tahun 1608 – 1624. Titik lemah kerajaan Banten ini ketika saat dalam perebutan penggantian wali, sehingga ini memberi kesempatan kepada kapal – kapal Belanda dan Inggris yang tiba di Banten. Pada tahun 1619, Jakarta direbut Belanda. Dan pada abad XVII menghawatirkan serangan-serangan dari kerajaan-keajaan lain. Sehingga kekuasaan Belanda di Jakarta membawa keamanan bagi raja-raja Banten.[25]

KESIMPULAN
Politik islam di jawa sangat terlihat sekali dengan adanya perjalanan sejarah yang terlihat dengan masuknya agama-agama yang dikombinasikan dengan kebudayaan jawa.  masuknya agama ke dalam kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa  dan di pengaruhinya oleh colonial belanda yang memanfaatkan kesempatan itu untuk meluaskan wilayah jajahannya. dengan berpura-pura baik kepada sebagian sultan-sultan terutama pada masa kerajaan Mataram yang pada masa itu kerajaan di bagi menjadi beberapa bagian. Kerajaan yang di pulau jawa antara lain kerajaan Demak,kerajaan Pajang dan kerajaan Mataram. dan timbulnya Partai politik yang pertama adalah Partai politik islam yaitu Sarekat islam. Yang hingga sekarang ini berkembang masih berkembang di Indonesia.


PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah susun , tentunya makalah ini mash jauh dari kesempurnaan. maka dari itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran untuk membangun dan memperbaiki makalah ini. Penulis juga meminta maaf apabila ada penulisan dan ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.  Amien...







                                               
DAFTAR PUSTAKA
Amin MA, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Gema Media:Yogyakarta
Burger, D.H.1983. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Bhatara karya Aksara:Jakarta
Rahman, Fazlur. 1979. Islam. Edisi II. University Chicago Press:Chicago
Saifullah. 2010. Sejarah Peradaban Islam di Asia Tenggara. Pustaka Pelajar:Yogyakarta
Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Mizan:Bandung
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. PT RajaGrafindo Persada:Jakarta
Yusuf , Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia. Kelompok Penerbit Pinus:Yogyakarta
























INTERALISASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG POLITIK

MAKALAH
Di susun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Rohmah Ulfah


Di susun oleh :

Abdul Muhaimin (124211014)
Ahmad Amin (124211015)



Fakultas Ushuludin
Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang
2013



[1] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 33-34.
[3]. Drs.H.Darori Amin,MA.Islam dan Kebudayaan Jawa.Gema Media,Yogyakarta, 2000, hlm. 204-213
[4]. D.H. Burger. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Bhatara karya Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 11.
[5]. Drs.H.Darori Amin,MA.Islam dan Kebudayaan Jawa.Gema Media,Yogyakarta, 2000, hlm. 217
[6].Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Mizan, Bandung, hlm. 119-121.
[7].Fazlur Rahman, Islam. Edisi II. University Chicago Press, Chicago, 1979, hlm. 293.
[8] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 76 - 81
[9] Ibid, hlm.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003) hlm. 213
[11] Ibid, hlm. 213
[12] Ibid, hlm. 213-214
[13] Ibid, hlm. 214
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hlm. 215
[18] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 86
[19] Ibid, hlm. 87
[20] Ibid, hlm. 88
[21] Ibid, hlm. 89
[22] Ibid, hlm. 87
[23] Saifullah, Sejarah Peradaban Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 31
[24] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Kelompok Penerbit Pinus, 2006) hlm. 90
[25] Ibid, hlm. 92