Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Setiap muslim wajib mencintai
Nabinya, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mencintai
beliau tidaklah seperti mencintai manusia selainnya. Karena mencintai
beliautermasuk pokok ajaran dien dan pondasi dasar keimanan. Bahkan kita
menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai bagian dari ibadah yang agung.
Kita beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai dan
memuliakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,
فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ
وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Maka orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS.
Al-A'raf: 157)
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri." (QS. Al-Ahzab: 6)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda, "Dan demi Zat yang jiwaku berada di tangn-Nya (Demi Allah),
tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada
diirnya, hartanya, anaknya, dan manusia seluruhnya." (HR. Al-Bukhari)
Di dalam al-Shahih disebutkan,
Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Wahai
Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai
daripada segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, "Tidak, wahai Umar, sehingga aku
lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Lalu Umar berkata,
"Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku
cintai daripada segala sesuatu sehingga daripada diriku sendiri." Kemudian
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyahut, "Sekarang (baru benar)
wahai Umar."
Maka dari sini diketahui, mencintai
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bukan urusan nomor dua atau suatu
pilihan, yakni jika seseorang mau mencintainya maka ia boleh mencintainya dan
jika tidak mau maka tidak apa-apa. Tetapi mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam adalah kewajiban atas setiap muslim yang menjadi inti keimanan.
Kecintaan kepada beliau ini haruslah lebih kuat daripada kecintaan terhadap
apapun, sampai kepada diri sendiri.
Sedangkan bukti kecintaan kepada beliau Shallallahu
'Alaihi Wasallam adalah dengan berittiba’ (mengikuti sunnahnya),
taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Mengambil setiap yang beliau Shallallahu
'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan meningalkan apa yang
beliau larang. Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
akan membenarkan setiap yang beliau beritakan, mentaati apa yang beliau
perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan tidak beribadah kepada
Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
.نْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali
Imran: 31)
Al Qadhi 'Iyadl rahimahullah, berkata: "Di
antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah
dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya,
. . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al
Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai
firman Allah Ta'ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari
kelahiran beliau. Di mana hal itu tidak pernah dilakukan oleh umat terbaik yang
telah membuktikan kecintaan kepada beliau dengan sebenar-benarnya. Mereka
korbankan jiwa, raga, dan apa saja yang mereka miliki untuk mendukung Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam. Maka jika kebenaran cinta kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam adalah dengan memperingati dan merayakan hari
kelahirannya, pastinya para sahabat akan lebih dulu mengerjakannya. Jika
merayakan maulid adalah memiliki pahala besar tentu para sahabat Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan lebih dulu mengawalinya. Tidak ada
generasi yang lebih rakus kepada kebaikan dan lebih kuat kecintaan kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam daripada orang-orang beriman yang pernah melihat Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dan pernah hidup bersamanya.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam catatan sejarah, motivasi
orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam -yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah- adalah tidak didasari
rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang
lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad
ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko
ke Mesir pada tahun 362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati
masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk
untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang
sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al
Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun
dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin
dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah
peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah
lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan
Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal),
dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah, peringatan maulid
tidak ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan
masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat
ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan
memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada
yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak
dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar
al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi
adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat
walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi
bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan
titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun
argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik
secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran dan al-Sunnah, dan
diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik
yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah. Wallahu Ta'ala A'lam.
[PurWD/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar