Selasa, 23 April 2013

IJMA'



                               I.            PENDAHULUAN

Para Ulama’ pada umumnya sepakat bahwa proses pembuatan hukum atau sering disebut “ Syari’at “  di dalam Islam merujuk empat sumber pokok. Salah satunya yaitu Ijma’. Ijma’ merupakan sumber hukum Islam yang penting dan sering ditempatkan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
Jadi, apabila terjadi suatu peristiwa yang dihadapkan kepada semua Mujtahid dari Ummat Islam  pada waktu kejadian itu terjadi, dan mereka sepakat akan hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut sebagai Ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap sabagai dalil, bahwasannya hukum Syara’ mengenai kejadian tersebut. (Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H.,M.H, dkk (Yulkarnain Harahab, S.H.,M.SI.), Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008),
Ijma’ ini adalah salah satu dalil Syara’ yang memiliki tingkat kekuatan Argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum Syara’ ( Abu Zahrah, 1994: 337). 

                            II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Ijma’ dan macam-macam Ijma’ ?
2.      Kehujjahan dan kedudukan Ijma’ ?
3.      Rukun-rukun Ijma’ ?
4.      Contoh-contoh Ijma’ Sahabat ?

                         III.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijma’ dan Macam-Macam Ijma’
1.       Pengertian Ijma’
Perkataan “ Ijmak” berasal dari kata “jama’a” yang artinya Himpunan atau kumpulan. (Drs. H.M. Asywadie Syukur, Lc, Pengantar Ilmu Fiqih dan Usul Fiqih. (Surabaya :  Bina Ilmu,1990) hlm. 80)
Ijma’ menurut istilah Ahli Ushul ialah persepakatan para Mujtahid kaum Muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum Syar’i mengenal suatu peristiwa.
Persepakatan mereka terjadi setelah wafatnya Rasulullah, sebab pada masa Beliau masih hidup, Beliau sendirilah satu-satunya tempat meminta untuk menetapkan hukum suatu peristiwa. Oleh karena itu, pada saat Beliau masih hidup tidak mungkin terjadi adanya perlawanan hukum terhadap suatu masalah dan pula terjadi adanya hukum suatu peristiwa hasil dari persepakatan, karena persepakatan itu sendiri mengingatkan akan adanya beberapa orang untuk bermusyawarah. (Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami,(Bandung : PT. Al-Ma’arif,1986), hlm. 58-66).

2.      Macam-Macam Ijma’
Ditinjau dari cara-cara terjadinya, ijma’ itu ada dua macam, antara lain :
1.      Ijma’ Sharih, yaitu persesuaian pendapat para Mujathid pada suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa dengan jalan masing-masing dari mereka menyatakan pendapatnya dengan cara memfatwakannya atau mempraktekkannya. Yakni setiap Mujtahid mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.      Ijma’ Sukuti, Yaitu sebagian Mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hukum suatu peristiwa dengn memfatwakan atau mempraktekkannya, sedang sebagian Mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan tidak pula menentangnya.
Ijma’ macam pertama menurut jumhur adalah Ijma’ Haqiqi dan menjadi sumber hukum syari’at. Sedang Ijma’ macam kedua adalah Ijma’ I’tibari (masih relatif). Sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju. Karena itu kedudukan Ijma’ macam kedua ini masih diperselisihkan. Jumhur menetapknnya bukan sebagai Hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan.akan tetapi Ulama Hanafiah berpendapat bahwa Ijma’ Sukuti itu dapat dijadikan Hujjah, apabila Mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat Mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu petunjuk bahwa dia bediam diri itu karena takut atau mengambil muka.
Dari segi lain Ijma’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya Ijma’ umat, Ijma’ para Sahabat dan Ijma’ empat orang Sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan ‘Ali. Sedangkan Ijma’ Syaihaini adalah  Ijma’ dua orang Sahabat besar yaitu Umar dan Abu Bakar yang dapat dijadikan sumber Fiqih. (Drs. H.M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990). Segolongan Ulama’ menjadikan persesuaian Faham Abu Bakar dan Umar sebagai Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah berdasar kepada Hadits :
اِقْتَدَواْ بِاالَّذِيْنَ بَعْدِى : اَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ ( رواه التّرمذي )

Artinya : “ Ikutilah dua orang sesudahku : Abu Bakar dan Umar. (H.R. At- Turmudzi). (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997)
Namun Ijma’ penduduk Kota Madinah hanya dapat dijadikan  dalil oleh mazhab Hanafi, sedangkan Ijma’ Al ‘itrah dapat dijadikan dalil oleh mazhab Syi’ah. (Drs. H.M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990).
Ditinjau dari segi Qath’i (pasti) dan Zhanni (dugaan)nya dalalah, Ijma’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1.      Ijma’ Qath’iyud dalalah terhadap hukumnya, yakni hukum yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Qath’i, jadi tidak ada jalan lain untuk menetapkan hukum peristiwa itu berbeda dengan hukum hasil Ijma’ tersebut dan tidak ada jalan lain untuk berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh Ijma’ itu. Ijma’ yang Qath’iyud dalalah itu adalah Ijma’ Sharih.
2.      Ijma’ Zhanniud dalalah terhadap hukumnya, yakni hukum yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Zhann (dugaan saja) dan peristiwa yang ditetapakan hukumnya berdasar Ijma’ ini masih mungkin bisa dijadikan Ijtihad oleh Mujtahid lain. Sebab ia baru merupakan hasil dari sebagian Mujtahid, bukan seluruh Mujtahid. Ijma’ macam kedua ini adalah Ijma’ Sukuti.
(Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami, (Bandung : Al-Ma’arif,1986), hlm. 58-66).

B.     Kehujjahan dan Kedudukan Ijma’

a.      Kehujjahan Ijma’
Sebagai bukti bahwa Ijma’ itu menjadi hujjah adalah sebagi berikut : pertama, sebagaimana halnya Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk mentaati para pemimpin mereka yang berkuasa, yaitu dalam Firman-Nya dalam Q.S An-Nisa’ : 59.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya : “ Hai, orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu sekalian,”( Q.S An-Nisa’ : 59)
Dalam ayat lain Allah telah mengecam orang yang melawan Rasul dan menjalani jalan yang bukan jalan orang-orang Mu’min sebagai orang yang tersesat dan bakal dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam, dalm Firman-Nya:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bagi-Nya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mu’min, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Neraka Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S An-Nisa’ : 115).
Dengan kata lain bahwa Allah menyamakan orang-orang yang pada melawan jalan yang ditempuh orang-orang Mu’min dengan orang yang melawan Rasulullah SAW.
Kedua, bahwa hukum yang telah mendapat persepakatan dari seluruh Mujtahid Muslimin pada hakikatnya adalah hukum Umat Islam seluruh Dunia yang tercemin pada para Mujtahid.
Banyak betul Hadits-hadits dan Atsar-atsar dari para Sahabat yang menjelaskan terpeliharanya Ummat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan. Antara lain ialah sabda Rasulullah SAW :

لاَ تَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى خَطَاءٍ ( رواه ابن ماجه )                                           
Artinya  : “ Ummatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” (H.R Ibnu Majah).
Ketiga, ijma’ terhadap hukum syara’ harus dibina di ata sandaran syari’at. Sebab setiap Mujtahid Muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya. Jelasnya, jika di dalam menjalankan Ijtihad dia mendapati suatu nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman dari nash itu dan dia harus mengetahui benar-benar apa yang ditunjuknya. Akan tetapi, jika di dalam kejadian yang diijtihadkan tidak ada nashnya, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui cara pengistinbatan (pemetikan) suatu hukum. (Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk (Drs. Fatchur Rahman), Dasar-Dasar Pembinanaan Hukum Fiqh-Islami, (Bandung : Al-Ma’arif, 1986). Hlm. 60-61)

b.      Kedudukan Ijma’
Kedudukan Ijma’ yang menetapkan bahwa Ijma’ itu Hujjah, menetapkan pula bahwa Ijma’ tersebut terletak di bawah derajat Kitabullah dan Sunnah Rasul dan Ijma’ itu tidak boleh menyalahi nash yang Qath’i (Kitabullah dan Hadits mansyur)
Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa nilai Hujjah Ijma’ ialah nilai Dhanni, bukan Qath’i
Oleh karena hujjah nilai Dhanni, menurut pendapat kebanyakan Ulama’, maka Ijma’ itu dapat dijadiakan Hujjah, atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan I’tikad. Mengingat bahwa dalam urusan I’tikad dalil yang menetapkannya harus bernilai Qath’i. Prinsip Ijma’ ini telah menempuh tiga masa sejak dari masa Sahabat, hingga masa Mujtahidin. (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997)

C.    Rukun-Rukun Ijma’
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Ijma’ harus memenuhi empat rukun, yaitu sebagai berikut ;
1.      Adanya jumlah para Mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena sesungguhnya persepakatan tidak mungkin dapat terbentuk kecuali pada sejumlah pendapat, yakni masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainnya. Maka sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para Mujtahid, misalnya tidak ditemukan seorang Mujtahid sama sekali, atau ditemukan  seorang mujtahid, maka secara syara’ tidak terjadi Ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada Ijma’ pada masa Rasulullah, karena hanya Beliau sendirilah Mujtahid pada waktu itu.
2.      Adanya kesepakatan seluruh Mujtahid di kalangan Ummat Islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka. Maka seandainya para Mujtahid Negeri Makkah dan Madinah saja, atau para Mujtahid Ahli Sunnah, bukan Mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesepakatan khusus ini tidaklah sah Ijma’ menurut syara’. Karena Ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesepakatan umum dari semua Mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian. Selain Mujtahid tidak masuk dalam penilaian.
3.      Bahwasannya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing dari Mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing Mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberi fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan. Setelah pendapat-pendapat itu dikumpulkan barulah ternyata kesepakatan pendapat mereka, atau mereka mengemukakan pandapat secara kolektif, misalnya para Mujtahid mengadakan suatu Konggres pada suatu masa terjadinya peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka. Setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atas suatu hukum mengenainya.
4.      Bahwa kesepakatan dari seluruh Mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak menjadi Ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah Para Mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah Mujtahid yang sepakat, karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan besar keraguan pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi Hujjah Syar’iyyah yang pasti dan meningkat.
Apabila keempat rukun itu terpenuhi, maka hukum yang dihasilkan dengan Ijma’ ini menjadi suatu peraturan Syar’i yang harus diikuti dan tidak boleh dibentangkan. Selanjutnya para Mujathid pada masa berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa ini sebagai obyek Ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan mengenai kejadian ini berdasarkan Ijma’ merupakan suatu hukum Syara’ yang Qath’i, yang tidak ada peluang untuk menentangnya ataupun menghapuskannya. (Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H.,M.H, dkk (Yulkarnain Harahab, S.H.,M.SI.), Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), Hlm. 160-161).

D.    Contoh-Contoh Ijma’ Sahabat
Adapun contoh-contoh Ijma’ Sahabat adalah sabagai berikut ( Hafidz Abdurrahman 2003 : 93) :
a)      Hak waris kakek bersamaan dengan adanya anak laki-laki, jika seseorang meninggal dunia sementara dia meninggalkan anak laki-laki dan kakek sebagai ahli warisnya. Sebab kakek dalam kondisi ketika bapak tidak ada dapat menggantikan kedudukan bapak dalam hak waris. Maka dia berhak menerimawarisan 1/6 dari harta yang ditinggalkan (tirkah) sebagaimana bapak, sekalipun anak orang yang meninggal tadi ada.
b)      Saudara seibu-sebapak, serta saudara sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan tidak bisa menerima warisan karena terhalang Abu Bakar sebagai Khalifah berhasil dilakukan selama tiga hari. Kemudian ketika Umar mencalonkan enam orang Sahabat yang mendapatkan kabar gembira surga untuk menjadi Khalifah, Beliau menunjuk orang yang akan membunuh mereka jika berselisih terhadap pembaiatan salah seorang Khalifah dalam waktu tiga hari. Ini semua tidak ditentang oleh seorang Sahabatpun. Padahal ini termasuk perkara yang seharusnya diingkari jika bertentangan dengan Islam, ternyata tidak. Maka, ini juga merupakan Ijma’. (Yulkarnain Harahab, S.H.,M.SI.), Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), Hlm. 164.



                         IV.            KESIMPULAN

            Ijma’ adalah persepakatan para Mujtahid kaum Muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum Syar’i mengenal suatu peristiwa.
                         Ijma’ terbagi menjadi dua menurut cara terjadinya :
1.      Ijma’ sharih
2.      Ijma’ sukuti

Ditinjau dari segi Qath’i (pasti) dan Zhanni (dugaan)nya dalalah, Ijma’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1.      Ijma’ Qath’iyud dalalah terhadap hukumnya
2.      Ijma’ Zhanniud dalalah terhadap hukumnya


                            V.            PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat, Tentunya terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat saya harapakan, sehingga dapat menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua khususnya untuk saya sendiri, Amin Ya Robbal ‘Alamin.




DAFTAR PUSTAKA


Anshori. Abdul Ghofur, Hukum Islam Dinamika dan Prekembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008.
Hasbi Ash Shiddieqy. Teungku, Pengantar Hukum Islam, Semarang : Putaka Rizki Putra, 1997.
Syukur. Asywadie, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Surabaya : Bina Ilmu,1990.
Yahya. Mukhtar dan Rahman. Fatchur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami, Bandung : Al-Ma’arif, 1986.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar