I.
PENDAHULUAN
Para Ulama’ pada umumnya sepakat bahwa proses pembuatan hukum atau
sering disebut “ Syari’at “ di dalam Islam merujuk empat sumber pokok. Salah
satunya yaitu Ijma’. Ijma’ merupakan sumber hukum Islam yang penting dan
sering ditempatkan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
Jadi, apabila terjadi suatu peristiwa yang dihadapkan kepada semua
Mujtahid dari Ummat Islam pada waktu
kejadian itu terjadi, dan mereka sepakat akan hukum mengenainya, maka
kesepakatan mereka itu disebut sebagai Ijma’. Kesepakatan mereka atas satu
hukum mengenainya dianggap sabagai dalil, bahwasannya hukum Syara’ mengenai
kejadian tersebut. (Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H.,M.H, dkk (Yulkarnain
Harahab, S.H.,M.SI.), Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia,
(Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008),
Ijma’ ini adalah salah satu dalil Syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan Argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan
Sunnah). Ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Sunnah, yang dapat
dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum Syara’ ( Abu Zahrah, 1994:
337).
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
Ijma’ dan macam-macam Ijma’ ?
2.
Kehujjahan dan
kedudukan Ijma’ ?
3.
Rukun-rukun
Ijma’ ?
4.
Contoh-contoh
Ijma’ Sahabat ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
dan Macam-Macam Ijma’
1.
Pengertian Ijma’
Perkataan “
Ijmak” berasal dari kata “jama’a” yang artinya Himpunan atau
kumpulan. (Drs. H.M. Asywadie Syukur, Lc, Pengantar Ilmu Fiqih dan Usul
Fiqih. (Surabaya : Bina Ilmu,1990)
hlm. 80)
Ijma’
menurut istilah Ahli Ushul ialah persepakatan para Mujtahid kaum Muslimin dalam
suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum Syar’i mengenal
suatu peristiwa.
Persepakatan
mereka terjadi setelah wafatnya Rasulullah, sebab pada masa Beliau masih hidup,
Beliau sendirilah satu-satunya tempat meminta untuk menetapkan hukum suatu
peristiwa. Oleh karena itu, pada saat Beliau masih hidup tidak mungkin terjadi
adanya perlawanan hukum terhadap suatu masalah dan pula terjadi adanya hukum
suatu peristiwa hasil dari persepakatan, karena persepakatan itu sendiri
mengingatkan akan adanya beberapa orang untuk bermusyawarah. (Prof. Dr.
H. Mukhtar Yahya, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami,(Bandung
: PT. Al-Ma’arif,1986), hlm. 58-66).
2.
Macam-Macam
Ijma’
Ditinjau dari cara-cara terjadinya, ijma’ itu ada dua macam, antara
lain :
1.
Ijma’ Sharih, yaitu persesuaian pendapat para Mujathid pada suatu masa terhadap
hukum suatu peristiwa dengan jalan masing-masing dari mereka menyatakan
pendapatnya dengan cara memfatwakannya atau mempraktekkannya. Yakni setiap
Mujtahid mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.
Ijma’ Sukuti, Yaitu sebagian Mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari
hal hukum suatu peristiwa dengn memfatwakan atau mempraktekkannya, sedang sebagian
Mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan tidak
pula menentangnya.
Ijma’ macam pertama menurut jumhur adalah Ijma’ Haqiqi dan
menjadi sumber hukum syari’at. Sedang Ijma’ macam kedua adalah Ijma’
I’tibari (masih relatif). Sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu
kalau ia setuju. Karena itu kedudukan Ijma’ macam kedua ini masih
diperselisihkan. Jumhur menetapknnya bukan sebagai Hujjah, lantaran masih
dianggap sebagai pendapat perseorangan.akan tetapi Ulama Hanafiah berpendapat
bahwa Ijma’ Sukuti itu dapat dijadikan Hujjah, apabila Mujtahid itu berdiam
diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat Mujtahid lain
yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak
didapati suatu petunjuk bahwa dia bediam diri itu karena takut atau mengambil
muka.
Dari segi lain Ijma’ dapat dibagi menjadi beberapa macam,
diantaranya Ijma’ umat, Ijma’ para Sahabat dan Ijma’ empat orang Sahabat
seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan ‘Ali. Sedangkan Ijma’ Syaihaini
adalah Ijma’ dua orang Sahabat besar
yaitu Umar dan Abu Bakar yang dapat dijadikan sumber Fiqih. (Drs. H.M. Asywadie
Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina
Ilmu,1990). Segolongan Ulama’ menjadikan persesuaian Faham Abu Bakar dan Umar
sebagai Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah berdasar kepada Hadits :
اِقْتَدَواْ بِاالَّذِيْنَ بَعْدِى : اَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ ( رواه
التّرمذي )
Artinya : “ Ikutilah dua orang sesudahku : Abu Bakar dan Umar.
(H.R. At- Turmudzi). (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,
(Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997)
Namun Ijma’ penduduk Kota Madinah hanya dapat dijadikan dalil oleh mazhab Hanafi, sedangkan Ijma’ Al
‘itrah dapat dijadikan dalil oleh mazhab Syi’ah. (Drs. H.M. Asywadie
Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya : Bina Ilmu,1990).
Ditinjau dari segi Qath’i (pasti) dan Zhanni (dugaan)nya dalalah,
Ijma’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1.
Ijma’ Qath’iyud
dalalah terhadap hukumnya, yakni hukum
yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Qath’i, jadi tidak ada jalan lain untuk
menetapkan hukum peristiwa itu berbeda dengan hukum hasil Ijma’ tersebut dan
tidak ada jalan lain untuk berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan
oleh Ijma’ itu. Ijma’ yang Qath’iyud dalalah itu adalah Ijma’ Sharih.
2. Ijma’ Zhanniud dalalah terhadap hukumnya, yakni hukum yang dihasilkan dari Ijma’ ini adalah Zhann (dugaan
saja) dan peristiwa yang ditetapakan hukumnya berdasar Ijma’ ini masih mungkin
bisa dijadikan Ijtihad oleh Mujtahid lain. Sebab ia baru merupakan hasil dari
sebagian Mujtahid, bukan seluruh Mujtahid. Ijma’ macam kedua ini adalah Ijma’
Sukuti.
(Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh-Islami, (Bandung : Al-Ma’arif,1986), hlm. 58-66).
B.
Kehujjahan dan
Kedudukan Ijma’
a.
Kehujjahan
Ijma’
Sebagai bukti bahwa Ijma’ itu menjadi hujjah adalah sebagi berikut
: pertama, sebagaimana halnya Allah SWT memerintahkan kepada kaum
Muslimin untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk mentaati
para pemimpin mereka yang berkuasa, yaitu dalam Firman-Nya dalam Q.S An-Nisa’ :
59.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya : “ Hai, orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu
sekalian,”( Q.S An-Nisa’ : 59)
Dalam ayat lain Allah telah mengecam orang yang melawan Rasul dan
menjalani jalan yang bukan jalan orang-orang Mu’min sebagai orang yang tersesat
dan bakal dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam, dalm Firman-Nya:
`tBur
È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$#
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
tû¨üt6s?
ã&s!
3yßgø9$#
ôìÎ6Ftur
uöxî
È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR
$tB
4¯<uqs?
¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_
( ôNuä!$yur
#·ÅÁtB
ÇÊÊÎÈ
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran bagi-Nya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mu’min,
Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Neraka Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (Q.S An-Nisa’ : 115).
Dengan kata lain bahwa Allah menyamakan orang-orang yang pada
melawan jalan yang ditempuh orang-orang Mu’min dengan orang yang melawan Rasulullah
SAW.
Kedua, bahwa hukum
yang telah mendapat persepakatan dari seluruh Mujtahid Muslimin pada hakikatnya
adalah hukum Umat Islam seluruh Dunia yang tercemin pada para Mujtahid.
Banyak betul Hadits-hadits dan Atsar-atsar dari para Sahabat yang menjelaskan
terpeliharanya Ummat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan.
Antara lain ialah sabda Rasulullah SAW :
لاَ تَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى خَطَاءٍ ( رواه ابن ماجه )
Artinya : “ Ummatku tidak
sepakat untuk membuat kekeliruan.” (H.R Ibnu Majah).
Ketiga, ijma’ terhadap
hukum syara’ harus dibina di ata sandaran syari’at. Sebab setiap Mujtahid
Muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya.
Jelasnya, jika di dalam menjalankan Ijtihad dia mendapati suatu nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman dari nash itu dan dia harus
mengetahui benar-benar apa yang ditunjuknya. Akan tetapi, jika di dalam
kejadian yang diijtihadkan tidak ada nashnya, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
cara pengistinbatan (pemetikan) suatu hukum. (Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, dkk
(Drs. Fatchur Rahman), Dasar-Dasar Pembinanaan Hukum Fiqh-Islami, (Bandung
: Al-Ma’arif, 1986). Hlm. 60-61)
b.
Kedudukan Ijma’
Kedudukan Ijma’ yang menetapkan bahwa Ijma’ itu Hujjah, menetapkan
pula bahwa Ijma’ tersebut terletak di bawah derajat Kitabullah dan Sunnah Rasul
dan Ijma’ itu tidak boleh menyalahi nash yang Qath’i (Kitabullah dan Hadits
mansyur)
Kebanyakan
Ulama berpendapat bahwa nilai Hujjah Ijma’ ialah nilai Dhanni, bukan Qath’i
Oleh karena hujjah
nilai Dhanni, menurut pendapat kebanyakan Ulama’, maka Ijma’ itu dapat
dijadiakan Hujjah, atau dipegangi dalam urusan amal, tidak dalam urusan
I’tikad. Mengingat bahwa dalam urusan I’tikad dalil yang menetapkannya harus
bernilai Qath’i. Prinsip Ijma’ ini telah menempuh tiga masa sejak dari masa Sahabat,
hingga masa Mujtahidin. (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997)
C.
Rukun-Rukun
Ijma’
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Ijma’ harus memenuhi empat rukun,
yaitu sebagai berikut ;
1.
Adanya jumlah
para Mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena sesungguhnya
persepakatan tidak mungkin dapat terbentuk kecuali pada sejumlah pendapat,
yakni masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainnya. Maka sekiranya
pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para Mujtahid, misalnya tidak
ditemukan seorang Mujtahid sama sekali, atau ditemukan seorang mujtahid, maka secara syara’ tidak
terjadi Ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada Ijma’ pada
masa Rasulullah, karena hanya Beliau sendirilah Mujtahid pada waktu itu.
2.
Adanya
kesepakatan seluruh Mujtahid di kalangan Ummat Islam terhadap hukum syara’
mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang
negeri mereka. Maka seandainya para Mujtahid Negeri Makkah dan Madinah saja,
atau para Mujtahid Ahli Sunnah, bukan Mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas
hukum Syara’ mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesepakatan khusus ini
tidaklah sah Ijma’ menurut syara’. Karena Ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali
dengan kesepakatan umum dari semua Mujtahid dunia Islam pada masa suatu
kejadian. Selain Mujtahid tidak masuk dalam penilaian.
3.
Bahwasannya
kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing dari
Mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik
penyampaian pendapat masing-masing Mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia
memberi fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan. Setelah pendapat-pendapat
itu dikumpulkan barulah ternyata kesepakatan pendapat mereka, atau mereka
mengemukakan pandapat secara kolektif, misalnya para Mujtahid mengadakan suatu
Konggres pada suatu masa terjadinya peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan
kepada mereka. Setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka
seluruhnya sepakat atas suatu hukum mengenainya.
4.
Bahwa
kesepakatan dari seluruh Mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau
sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu
tidak menjadi Ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah Para Mujtahid yang
menentang dan besar sekali jumlah Mujtahid yang sepakat, karena sepanjang masih
dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan besar
keraguan pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena
itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi Hujjah Syar’iyyah yang
pasti dan meningkat.
Apabila keempat rukun itu terpenuhi, maka hukum yang dihasilkan
dengan Ijma’ ini menjadi suatu peraturan Syar’i yang harus diikuti dan tidak
boleh dibentangkan. Selanjutnya para Mujathid pada masa berikutnya tidak boleh
menjadikan peristiwa ini sebagai obyek Ijtihad, karena hukum yang telah
ditetapkan mengenai kejadian ini berdasarkan Ijma’ merupakan suatu hukum Syara’
yang Qath’i, yang tidak ada peluang untuk menentangnya ataupun menghapuskannya.
(Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H.,M.H, dkk (Yulkarnain Harahab,
S.H.,M.SI.), Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia,
(Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), Hlm. 160-161).
D.
Contoh-Contoh
Ijma’ Sahabat
Adapun contoh-contoh Ijma’ Sahabat adalah sabagai berikut ( Hafidz
Abdurrahman 2003 : 93) :
a)
Hak waris kakek
bersamaan dengan adanya anak laki-laki, jika seseorang meninggal dunia
sementara dia meninggalkan anak laki-laki dan kakek sebagai ahli warisnya.
Sebab kakek dalam kondisi ketika bapak tidak ada dapat menggantikan kedudukan
bapak dalam hak waris. Maka dia berhak menerimawarisan 1/6 dari harta yang
ditinggalkan (tirkah) sebagaimana bapak, sekalipun anak orang yang
meninggal tadi ada.
b)
Saudara
seibu-sebapak, serta saudara sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan tidak
bisa menerima warisan karena terhalang Abu Bakar sebagai Khalifah berhasil
dilakukan selama tiga hari. Kemudian ketika Umar mencalonkan enam orang Sahabat
yang mendapatkan kabar gembira surga untuk menjadi Khalifah, Beliau menunjuk
orang yang akan membunuh mereka jika berselisih terhadap pembaiatan salah
seorang Khalifah dalam waktu tiga hari. Ini semua tidak ditentang oleh seorang
Sahabatpun. Padahal ini termasuk perkara yang seharusnya diingkari jika
bertentangan dengan Islam, ternyata tidak. Maka, ini juga merupakan Ijma’.
(Yulkarnain Harahab, S.H.,M.SI.), Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya
di Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), Hlm. 164.
IV.
KESIMPULAN
Ijma’ adalah persepakatan
para Mujtahid kaum Muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW,
terhadap suatu hukum Syar’i mengenal suatu peristiwa.
Ijma’ terbagi menjadi
dua menurut cara terjadinya :
1.
Ijma’ sharih
2.
Ijma’ sukuti
Ditinjau
dari segi Qath’i (pasti) dan Zhanni (dugaan)nya dalalah, Ijma’ dibagi menjadi 2
macam, yaitu :
1.
Ijma’ Qath’iyud
dalalah terhadap hukumnya
2.
Ijma’ Zhanniud
dalalah terhadap hukumnya
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat, Tentunya terdapat kesalahan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat saya harapakan, sehingga dapat
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua
khususnya untuk saya sendiri, Amin Ya Robbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori. Abdul Ghofur, Hukum Islam Dinamika dan Prekembangannya
di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008.
Hasbi Ash Shiddieqy. Teungku, Pengantar Hukum Islam,
Semarang : Putaka Rizki Putra, 1997.
Syukur. Asywadie, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,
Surabaya : Bina Ilmu,1990.
Yahya. Mukhtar dan Rahman. Fatchur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh-Islami, Bandung : Al-Ma’arif, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar