Pengertian
Asbabun Nuzul
Ungkapan Asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab”
dan nuzul Secara etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebabyang
melatar belakangi terjadinya sesuatuatau dalam hal ini adalah sebab-sebab turun
ayat. dalam pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu
peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun. Banyak
pengertian terminology yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya:
1.
menurut Az
Zarqani:
“Asbab An-Nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada
hubungannya dengan turunnya Al Qur’an sebabagi penjelas hokum pada saat
peristiwa itu terjadi.”
2. Ash shabuni:
“Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat yang mulia yang berhubungan dengan kejadian
tersebut baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agam.”
Subhi Shalih
ما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه
ما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa
ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau
menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
3.Mana Al Qathan
“Asbab An-Nuzul”
Adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadibaik berupa suatu kejadisn atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
Kendatipun redaksinya pendifinisian diatas berbeda namun hal itu menyimpulan bahwa Asbab An-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al Qur’an.
Bentuk bentuk peristiwa yang melatar belakngi turunnya Al Qur’an itu sangat beragam , diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan anatara suku aus dan suku khazraj, kesalahan besar seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan pertannyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat sedang atau yang akan terjadi.
Persoalan apakah semua ayat Al Qur’an diturunkan berdasarkan Asbab An-Nuzul ternyata telah menjadi bahan kntroversi dikalangan para ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat Al Qur’an diturunkan dengan asbabun nuzul, , sehingga diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya (ibtida’) dan ada pula Al Qur’an yang diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh sesuatu peristiwa(ghairu ibtida’)
Pendapat tersebut hempir merupakan konsensus para ulama ada yang mengatakan bahwa kesjarahan Arabi pra Al Qur’an pada masa turunnya Al Qur’an adalah latar belakanng turunnya Al Qur’an secara makro sementara riwayat –riwayat asbabun nuzul merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat Al Qur’an memiliki sebab-seba yang melatar belaknginya.
3.Mana Al Qathan
“Asbab An-Nuzul”
Adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadibaik berupa suatu kejadisn atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
Kendatipun redaksinya pendifinisian diatas berbeda namun hal itu menyimpulan bahwa Asbab An-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al Qur’an.
Bentuk bentuk peristiwa yang melatar belakngi turunnya Al Qur’an itu sangat beragam , diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan anatara suku aus dan suku khazraj, kesalahan besar seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan pertannyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat sedang atau yang akan terjadi.
Persoalan apakah semua ayat Al Qur’an diturunkan berdasarkan Asbab An-Nuzul ternyata telah menjadi bahan kntroversi dikalangan para ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat Al Qur’an diturunkan dengan asbabun nuzul, , sehingga diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya (ibtida’) dan ada pula Al Qur’an yang diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh sesuatu peristiwa(ghairu ibtida’)
Pendapat tersebut hempir merupakan konsensus para ulama ada yang mengatakan bahwa kesjarahan Arabi pra Al Qur’an pada masa turunnya Al Qur’an adalah latar belakanng turunnya Al Qur’an secara makro sementara riwayat –riwayat asbabun nuzul merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat Al Qur’an memiliki sebab-seba yang melatar belaknginya.
A. Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul, dalam pengertian literal bahasa
verbal adalah sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Secara historis, al-Qur’an
bukanlah wahyu yang turun dalam ruang hampa, tetapi ia mempunyai latar
belakang, argumentasi dan faktor-faktor tertentu yan menjadikan dia “turun” ke
bumi. Hal ini karena, al-Qur’an “diturunkan” sebagai alat untuk menjawab
problematika kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, kehadirannya di alam
material sangat terkait ruang dan waktu tertentu yang menjadi faktor-faktor di
balik turunnya al-Qur’an.
Menurut Dr. Shubhi as-Shalih, pengertian
asbabun nuzul secara terminologis adalah: Suatu peristiwa atau pertanyaan
yang melatar belakangi turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, di mana ayat
tersebut mengandung informasi mengenai peristiwa itu, atau memberikan jawaban
terhadap pertanyaan, atau menjelaskan hukum yang terkandung dalam peristiwa
itu, pada saat terjadinya peristiwa / pertanyaan tersebut.
Berdasarkan definisi ini maka ilmu asbabun
nuzul dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an, baik berupa
peristiwa maupun berupa pertanyaan. Jika sebabnya berupa peristiwa, maka ayat
yang turun mengandung informasi tentang peristiwa tersebut atau memberikan
penjelasan terhadap hukum yang terkandung di dalamnya, pada saat peristiwa itu
terjadi. Jika sebabnya berupa pertanyaan, maka ayat yang turun akan berfungsi
sebagai jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
B. Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui asbabun nuzul adalah upaya untuk
membedah antara dua hal yaitu sebab dan musabbabnya, atau dalam bahasanya Nasr
Hamid Abu Zaid menguak dan menghubungkan antara realitas khusus (sebab) ke
realitas yang menyerupainya (musabbab). Akan tetapi harus disadari bahwa
transformasi dari “sabab” ke “musabbab”, atau dari realitas khusus ke realitas
yang menyerupainya, harus didasarkan pada tanda-tanda yang terdapat ada
struktur teks itu sendiri.
Allah menjadikan segala sesuatu melalui
sebab-musabbab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan
melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap
perkembangan. Tidak sesuatu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah
melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala
pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah
sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya, dan engkau tidak
akan menemukan perubahan pada sunnatullah (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran
sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan.
Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia
tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab
yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi tidak hanya sejarah yang menarik
kesimpulan dari rentetan peristiwa yang mendahuluinya, tapi juga ilmu alam,
ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam pemahamanya memerlukan sebab-musabbab
yang melahirkannya, di samping tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip
serta maksud tujuan.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui
asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari
sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini,
bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum
marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: Tidak halal
berpendapat mengenai asbabun nuzul kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau
mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya
dan membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam
mencarinya. Al-Wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan
mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan
mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: Sekarang setiap
orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam
kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui
asbabun nuzul.
C. Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat
Mengenai Asbabun Nuzul
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai
asbabun nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufassir
kepadanya sebagai berikut:
Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak
tegas, seperti: Ayat ini turun mengenai urusan ini, atau Aku mengira ayat ini
turun mengenai urusan ini, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara
riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran
dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan
darinya, bukan menyebutkan asbabun nuzul, kecuali bila ada qarinah atau
indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan asbabun
nuzulnya.
Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu
tidak tegas, misalnya ayat ini turun mengenai urusan ini. Sedang riwayat yang
lain menyebutkan asbabun nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat
pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbabun
nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum
ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul: Dari Nafi’ disebutkan:
Pada suatu hari aku membaca (Istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok
tanam), maka kata Ibnu Umar: Tahukah engkau mengenai apa ayat ini
diturunkan? Aku menjawab: Tidak, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan
mendatangi istri dari belakang. Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak
dengan tegas menunjukkan asbabun nuzul.
Di sisi lain sebagian para ulama menjelaskan
bahwa ada yang beranggapan bahwa disiplin ilmu ini tidak mempunyai kegunaan ia
hanya berfungsi sebagai sejarah. Dalam hal ini ia salah, justru disiplin ini
mempunyai kegunaan .
Sementara itu terdapat riwayat yang sangat
tegas menyebutkan asbabun nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut.
Melalui Jabir dikatakan orang-orang Yahudi berkata: Apabila seorang laki-laki
mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata juling,
maka turunlah ayat tersebut. Maka riwayat Jabir inilah yang dijadikan pegangan,
karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan
ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia dipandang sebagai
kesimpulan atau penafsiran.
D. Makna Macam-macam Ungkapan Asbabun Nuzul
Peristiwa atau pertanyaan yang disebut sebagai
asbabun nuzul itu terjadinya pada masa Rasulullah, atau lebih khusus lagi, pada
masa turunnya ayat-ayat Al-quran. Dengan demikian asbabun nuzul hanya dapat
diketahui melalui penuturan para sahabat Nabi yang secara langsung menyaksikan
terjadinya peristiwa atau munculnya pertanyaan asbabun nuzul. Hal ini berarti,
bahwa asbabun nuzul haruslah berupa riwayat yang dituturkan oleh para sahabat.
Para sahabat dalam menuturkan asbabun nuzul
menggunakan ungkapan yang berbeda antara suatu peristiwa dengan peristiwa
lainnya. Perbedaan ungkapan tersebut tentunya mengandung perbedaan makna yang
memiliki implikasi pada status asbabun nuzulnya.
Macam-macam ungkapan/redaksi yang digunakan
sahabat dalam mendeskribsikan asbabun nuzul antara lain:
- Kata سبب (sebab). Contohnya seperti: سَبَبُ نُزُوْلِ هَـذِهِ الاَ يَةِ كــذَا… (sebab turunnya ayat ini demikian …). Ungkapan (redaksi) ini disebut sebagai redaksi yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya, sebab nuzul yang menggunakan redaksi seperti ini menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang turunnya ayat, tidak mengandung makna lain.
- Kata فـــ (maka). Contohnya seperti: حَدَثَتَ كَذَا وَ كَذَا فَـنَزَلَت الآيَةُ (telah terjadi peristiwa ini dan itu, maka turunlah ayat). Ungkapan ini mengandung pengertian yang sama dengan penggunaan kata sabab, yakni sama-sama sharih (jelas/tegas).
- Kata في (mengenai/tentang). Contohnya seperti: نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِيْ كَذَا و كَـذَا … (ayat ini turun mengenai ini dan itu). Ungkapan seperti ini tidak secara tegas (ghairu sharih) menunjukkan sebab turunnya suatu ayat. Akan tetapi masih dimungkinkan mengandung pengertian lain.
E. Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan
dengan Asbabun Nuzul
Dalam memahami makna berbeda ayat al-Qur’an
yang mengandung lafal umum dan dikaitkan dengan sebab turunnya, para ulama
pendapat dalam menetapkan dasar pemahaman. Karena itu, berkaitan dengan masalah
ini ada dua kaidah yang bertolak belakang.
Kaidah pertama menyatakan:
اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus).
اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus).
Kaidah kedua menyatakan sebaliknya:
اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).
اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).
Contoh penerapan kaidah pertama: Firman Allah,
Surat An-Nur ayat 6: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina),
padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].
Jika dilakukan pemahaman berdasarkan bentuk
umumnya lafal terhadap surat An-Nur ayat 6 di atas, maka keharusan mengucapkan
sumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa tuduhannya adalah benar,
berlaku bagi siapa saja (suami) yang menuduh isterinya berzina. Pemahaman yang
demikian ini (berdasarkan umumnya lafal) tidak bertentangan dengan ayat lain
atau hadits atau ketentuan hukum yang lainnya.
Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 115: Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat,
maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).
Jika dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan
kaidah pertama, maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan
menghadap ke arah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana
dan dalam keadaan bagaimana kita shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan
dengan dalil lain (ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus
menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah: Dan
dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah:
149).
Akan tetapi, jika dalam memahami Surat
Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan dengan asbabun nuzulnya, maka kesimpulan
yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat
adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang berjalan,
atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil-Haram). Dalam kasus
ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat
yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat
umum.
F. Urgensi Asbabun Nuzul
Seperti yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa di
antara kegunaan mempelajari asbabun nuzul adalah bisa untuk mengetahui aspek
hikmah yang mendorong munculnya hukum di-tasyri’kan (diundangkan); mentakhsish
hukum bagi mereka yang mempunyai pendapat bahwa yang menjadi pertimbangan
adalah “sebab khusus”; terkadang ada kata yang umum dan ada dalil yang
berfungsi mentakhsisnya.
Di antara sekian banyak aspek yang banyak
memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah
mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi
obyek perhatian para ulama. Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu al-Qur’an,
seperti yang dijelaskan oleh Abu Mujahid , adalah oleh guna mempertegas dan
mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya. Ilmu asbabun nuzul mempunyai pengaruh
yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu
memperhatikan ilmu tentang asbabun nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara
khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madini guru Imam
al-Bukhari r.a. Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab asbabun nuzul
karangan al-Wahidi sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul
Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab dengan
judul Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul. Oleh karena pentingnya ilmu
asbabun nuzul dalam ilmu al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam
memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat al-Qur’an ada
yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya /
hukumnya tanpa ilmu asbabun nuzul.[‘
G. Kegunaan Asbabun Nuzul
Keharusan mengetahui asbabun nuzul untuk
memahami isi kandungan al-Qur’an tentu tidak untuk semua ayat al-Qur’an. Karena
tidak semua ayat dalam al-Qur’an memiliki asbabun nuzul. Bahkan ayat yang turun
tanpa asbabun nuzul jumlahnya jauh lebih banyak daripada ayat-ayat yang
mempunyai asbabun nuzul. Namun pembahasan tentang asbabun nuzul mendapat
perhatian yang sangat besar dari para ahli Ulum al-Qur’an. Hal ini menunjukkan
pentingnya kajian asbabun nuzul dalam Ulum al-Qur’an. Di antara kegunaannya
adalah:
- Mengetahui rahasia dan tujuan Allah mensyariatkan agamanya melalui ayat-ayat al-Qur’an.
- Memudahkan pemahaman al-Qur’an secara benar, sehingga terhindar dari kesukaran dan memperkecil kemungkinan salah.
- Asbabun nuzul memperkuat hafalan al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang memiliki kemiripan ungkapan.
A.
1. Pengertian
Azbabun Nuzul
Menurut bahasa “Azbabun Nuzul” – Sebab-sebab turunnya al-Qur’an,
yang mana al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad secara
berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun.
Sedangkan menurut Shubhi Al-Saleh dalam mendefinisikan Azbabun
Nuzul yaitu:
“sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa
ayat yang mengandung sebab itu, atau
memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab tertentu”.
2. Macam-macam Azbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, Azbabun Nuzul dapat
dibagi menjadi:
-
Ta’addud
al-Asbab wa al-Nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan
yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu).
-
Ta’addud
al-Nazil wa al-Asbab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau
sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
Sebab turun ayat disebut Ta’addud bila ditemukan dua ayat
atau yang berbeda atau lebih tentang seba turun suatu ayat atau sekelompok ayat
tertentu. Sebaliknya, sebab turun itu disebut Wahid atau tunggal bila
riwayatnya hanya satu. Suatu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut Ta’addud
an-Nazil , bila inti persoalan yang terkandung dalam adlah sebab ayat turun sehubungan dengan sebab
tertentu lebih dari satu persoalan.
Beberapa ayat yang tidak terkait dengan aasbabun Nuzul
a.
Menjelaskan
tentang Nabi-nabi dan rasul.
b.
Kejadian-kejadian
masa lampau dan masa sekarang.
c.
Kejadian ghaib.
d.
Tentang hari
kiamat.
e.
Tentang adanya
surga dan neraaka.
B.
Kaedah-kaedah
Azbabun Nuzul
Lafal-lafal dari riwayat yang shahih tidak selalu berupa Nash
shahih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat,
diantaranya ada yang dengan pernyataan yang konkrit, dan ada pula dengan bahasa
yang samar yang kurang jelas maksudnya. Sebab, mungkin yang dimaksudkan itu
adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat itu.
Apabila seorang perawi menerangkan dengan lafal/kata “sebab” atau
memakai fa’ta’qibiyyah “fa’ yang mempunyai arti= “maka/kemudian”, yang masuk ke
dalam materi turunnya ayat, sesudah ia menerangkan suatu peristiwa/sebuah
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW. Misalnya ia berkata:
Artinya: “terjadi peristiwa ini aatau nabi ditanya tentang
peristiwa ini, maka turunlah ayat ini”.
Maka yang demikian
itu, merupakan Nash/pernyataan yang jelas menunjukkan sebab turunnya ayat itu.
Tetapi apabila seorang perawi menyatakan:
__________
“ayat ini turun tentang itu” maka ibarat ini mengandung dua
kemungkinan, yaitu: mungkin itu sebab turunnya ayat tersebut dan mungkin pula
mengandung suatu hukum dalam ayat itu. Dan apabila seorang perawi berkata:
__________
“ ayat ini turun tentang hal itu” sedang perawi lain berkata:
__________
“ayat ini turun bukan tentang hal itu” maka jika lafal itu dapat
menerima maksud dari kedua perawi itu, maka dapatlah dipertanggungkannya kepada
kedua-duanya dan tak ada pertentangan antara kedua-duanya.
Namun, apabila ada
dua hadist yang sama-sama kuat, tarjih maka yang dianggap paling kuat adalah
perawi yang mengalami kejadian tersebut.
Para tabi’in
berpendapat bahwa tidak bisa dikatakan hadist itu shahih apabila tidak
disandarkan/dikuatkan pada hadits lain, walaupun hadits mursal yang
diriwayatkan oleh seorang imam ahli tafsir yang dianggapnya mengambil dari
sahabat Nabi yang dimekerti agar dipandang hadits itu shahih.
Kaidah matan,
C.
Kegunaan
Azbabun Nuzul
Secara terperinci, al-Zarqani menyebutkan tujuh macam diantara
kegunaan atau faedah mengetahui Azbabun Nuzul:
1.
Pengetahuan
tentang Azbabun Nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan
Allah secara khusus mensyari’atkan agamanya melalui al-Qur’an. Pengetahuan
demikian akanmemberi manfaat baik bagi orang mu’min maup[un non-mu’min. Orang
mu’min akan bertambah imannya dan mempunyai hasrat yang kuat untuk menerapkan
hukum Allah dan mengamalkan kitabnya.
2.
Urwah yang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar