Selasa, 23 April 2013

Pengertian Aql, Qalb, Ruh, dan Naf



Pengertian Aql, Qalb, Ruh, dan Nafs Menurut Al Ghazali
'Aql adalah pengetahuan yang dapat dikategorikan kedalam tiga bagian, yaitu :
1. Pengetahuan aksiomatis (al-'ulum al-dharuriyyah) yang dengan sendirinya muncul dalam diri manusia pada saat ia mencapai usia tertentu. Ini mencakup pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemustahilan yang mustahil, seperti bahwa tiga adalah lebih banyak dari dua atau bahwa sebuah benda tidak mungkin berada lebih dari satu tempat dalam waktu yang bersamaan.
2. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan interrelasi dengan lingkungan. Di sini kata 'aql dipertentangkan dengan jahl (kebodohan) 3. Pengetahuan yang memungkinkan seseorang mengembangkan kemampuan mengendalikan diri dan hawa nafsunya sehingga tak lagi terjebak dengan kesenangan-kesenangan temporer yang pada akhirnya berakhir buruk. Dalam pengertian yang kedua, 'aql berarti sebuah kualitas (washf) yang membedakan manusia dari hewan dan yang memungkinkannya memahami ilmu-ilmu spekulatif serta menyadari operasi mental psikologis yang terjadi dalam dirinya. Secara sederhana 'aql adalah fakultas penyerap pengetahuan
Qalb, sebagaimana 'aql , mempunyai dua pengertian .
Pengertian pertama adalah qalb sebagai entitas fisik yang merupakan hati, segumpal daging yang tergantung dalam rongga dada sebelah kiri manusia. Pengertian qalb kedua adalah esensi paling mendasar dari manusia yang dapat menalar dan mengetahui informasi atau pengetahuan. Dalam definisi kedua ini kita melihat persamaan yang mendasar dengan definisi 'aql yang kedua.
Ruh sebagai fakultas psikologi adalah sama dengan qalb, meskipun dalam definisi materialnya berbeda. Ruh adalah materi halus yang merupakan tonggak kehidupan manusia. Kehilangannya berarti kematian. Materi halus ini bersumber dalam hati qalb (dalam arti material) yang disebarkan oleh darah keseluruh bagian tubuh manusia
Nafs juga memiliki dua pengertian. Pertama adalah sebagai entitas immaterial yang merupakan sumber dari sifat-sifat negatif manusia seperti marah,dengki, dsb.
Pengertian kedua, nafs dapat berarti esensi manusia yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pemahaman-pemahaman dan pengetahuan (sama dengan 'aql dalam definisinya yang kedua)
Dari buku Nukilan Pemikiran Islam Klasik, Gagasan pendidikan Al-Ghazali, Tiara Wacana, Hasan Asari, 1999.


Pengertian Ruh, Qalb, Aql dan Nafs

Menurut al-Ghazali istilah Ruh, Qalb, Aql dan Nafs sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non fisik. hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena penjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. darah ini pula yang membawa kehidupan. oleh karena itu nabi saw bersabda:

الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.

”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (Qalb).”

Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau Qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukank seluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani. Oleh karena itu Kata Al-Ghazali, ada makna hati yang kedua: Lathifah rabbaniyah ruhaniyyah. (sesuatu yang lembut yang berasal dari tuhan dan bersifat ruhaniyah), lathifah itulah yang membuat kita mengetahui atau merasakan sesuatu. kata al-Qur’an, hati itu mengetahui merasakan, juga memahami. jadi hati adalah suatu bagian ruhaniyah yang kerjanya memahami sesuatu itulah Qalb.

Menurut para sufi hati juga merupakan bagian dari diri kita yang dapat menyingkap ilmu-ilmu ghaib, ada riwayat yang menyebutkan bahwa kita mempunyai dua pasang mata: yaitu mata lahir dan mata bathin, jadi hati adalah lathifah yang mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal yang ghaib. Dengan hati juga kita dapat melihat tuhan, kata imam Al Ghazali, hati itu hati dapat membawa kita kepada ilmu mukasyafah yakni ilmu yang menyingkapkan hal-hal Gha’ib.

Hal itu erat kaitannya dengan ruh. Ruh juga mempunyai dua arti. ada ruh yang berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung ini, yang beredar bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti ruh itupun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmania yang terikat dengan jasad. Selain itu juga ada ruh dalam arti yang kedua yang ajaibnya definisinya sama dengan hati, yaitu lathifah Rubbaniyah Ruhaniyan Wal hasil secara abstrak atau maknawi ruh sama dengan hati. Ruh itulah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat mungkin menyebutnya mind, kita menyebutnya jiwa.

Selanjutnya adalah persoalan hati. Menurut Al-Ghazali yang menjadi perhatian kita bukanlah hati fisik, biarlah itu menjadi urusan dokter saja, yang menjadi urusan kita adalah lathifah rabbaniyah ruhaniyah adalah suatu yang sangat lembut. Tuhan juga disebut dengan Al -latif (yang maha lembut). lahtifah berarti juga lutf yang artinya anugrah. Jadi Al latif berarti dzat yang memberi anugrah.

Berikutnya adalah Akal. Ia juga memiliki dua nama. ada akal sebagai ilmu tentang sesuatu sehingga orang yang berakal adalah orang yang mengetahui ilmu tentang sesuatu, dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. selain itu akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita menjadi yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. jadi akal bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, dan bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. hal itu berarti sama artinya dengan hati, latifah rubbaniyah ruhaniyah mudrikah alimah arifah. jadi bagian dari kita untuk mengetahui sesuatu disebut akal.

Alhasil ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati dan akal. ketiganya sama-sama merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaiatan dengan jasmani. Orang dapat merasakan pedih tampa mengalami gangguan fisik, sedikitpun. tubuhnya normal tetapi mengalami kepedihan yang luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasalan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan tubuh, akan tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang orang mengetahui bahwa kalau seseorang tidak mempunyai ruh, ia tidak akan merasakan sakit apapun, meski tubuhnya di kerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasakan sakit bukan tubuh kita, tetapi ruh kita atau qalb atau akal-dalam definisi lathif sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat pedih tampa mengalami gangguan fisik sedikitpun. Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yng luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan adalah lathifah rabbaniyah ruhiyyah.

Orang-orang modern mencoba membuktikan hal ini dengan hipnotis. Misalnya seseorang menghipnotis anda dan menyuruh anda tidur. Kemudian ia memberikan posthypnotic suggestion (sugesti pasca hipnotis) kepada anda, sehingga ketika bangun dari tidur, anda tidak merasakan apa-apa meskipun tubuh anda dikerat-kerat. meskipun anda sadar, anda tidak merasakan sakit sedikitpun, sebab ruh anda sudah diperintahkan untuk tidak merasakan sakit. Jadi yang merasakan sakit itu bukan tubuh kita, tetapi ruh. Yang mendengar, melihat dan merasa sakit adalah ruh. Jika ruhanda tidak mau merasakan, anda pun tidak akan merasakannya, kalau anda dikejar ular, lalu anda lari dengan cepat sehinggga menginjak pecahan-pecahan kaca, anda tidak akan merasakan sakit setelah anda selamat yakni ketika anda sudah tidak memperhatikan ular lagi, barulah ruh anda akan memperhatikan kaki anda. Semula tidak merasa, kini terasa sakit. Sebab, saat itu ruh sedang memperhatikan pecahan-pecahan kaca bukan ular lagi. Kata Imanuel Kant kalau seseorang mendengar jam, yang mendengar itu bukan telinganya. Telinganya hanya alat saja. Yang mendengar adalah ruh. Ketika sepasang manusia sedang berpacaran, detak jam dinding itu tidak terdengar lagi, begitu pacaran selesai dan mereka merenung sendirian, detak jam itu mulai terdengar oleh mereka.

Berikutnya adalah Nafs, di kalangan ulama, nafs itu bermakna dua. Pertama, nafs dalam arti jelek yakni al-hawa yang di dalamn bahasa Indonesia sering digabungkan menjadi satu, yakni hawa nafsu tugas kita adalah membersihkan hati kita dari nafsu. Hati yang bersih dari nafsu oleh Al-Qur’an disebut dengan qalbun salim, tidak akan digangu setan. Kalau kita salat lalu kita datang kepadanya dengan hati yang dipenuhi oleh makanan setan, dzikir yang kita ucapkan tidak akan dapat mengusir setan, setan akan tetap bertengger di sekitar kita. Begitu kita lengah, ia akan masuk dan bersarang di hati kita memakan makanannya, yang di antaranya adalah al-hawa tersebut.

Diceritakan bahwa sesuatu ketika setan datang kepada Ibn Al AHjjaj dan berkata, ia tidak menemukan makananya di dalam diri orang-orang salih. Ia kekurangan makanan karena orang mukmin yang slaih itu menghancurkan hawa nafsunya.

Kedua, nafs yang berarti manusia secara keseluruhan. Hakikat diri kita itu adalah nafs kita, ego atau diri kita. Dalam Al-qur’an, pengertian nafs bermacam-macam. Paling tidak ada tiga: (1) nafs ammarah, (2) nafs lawwamah, dan (3) nafs muthma’innah.

Ammarah berasal dari kata amara. Dalam surat yusuf disebutkan:

“Sesungguhnya nafsu itu menyuruh (ammaratun ) berbuat jelek’ (QS 12: 53)

Ammarah artinya yang memerintahkan yang mendesahkan, atau yang mengajak. Nafsu ini merupakan nafsu dalam tingkatan yang paling rendah, nafsu yang masiih suka menyuruh orang mengikuti hawa nafsunya yang tunduk kepada ghadab dan syahwat serta sifat-sifat kebinatanganya.

Nafsu yang kebih tinggi adalah nafsu lawwamah. Jika seseorang mengetahui dirinya selalu mengikuti nafsunya, lalu ia menyesali dan mengadili dosa-dosanya, itulah yang disebut nafsu lawwamah Allah bersumpah dengan macam pengadilan:

“Aku bersumpah dengan hari kiamat dan aku bersumpah dengan nafsu lawamah”, (QS 75: 1-2).

Kata Murthadha Muttahhari, ada tiga macam pengadilan, berurutan dari yang paling tidak adil hingga yang paling adil. Pengadilan yang paling tidak adil adalah pengadilan di dunia. Mungkin pengadilan di dunia ini merupakan pengadilan yang paling banyak tidak adilnya. Sebab di sini keadilan diukur dengan seberapa kuat atau lemahnya seseorang. Lalu ada pengadilan yang agak adil, yakni pengadilan hati nurani, yang disebut nafsu lawwamah. Diri kita menjadi hakim yang mengadili, yang membuat kita gelisah. Di situ tidak bisa lagi berbohong. Akan tetapi nafsu Lawwamah ini hanya bisa mengecam saja. Ia tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada pengadilan yang paling adil, yaitu pengadilan hari kiamat. Di situ orang tidak bisa bersdusta dan tidak bisa menghindar lagi. Di situ juga akan ditetapkan hukuman yang seadil adilnya. Tidak ada satupun orang yang luput dari pengadilan tuhan. Itulah pertama kali Allah bersumpah dengan hari kiamat.

Yang terakhir, yakni diri yang paling tinggi adalah diri sesudah tunduk kepada kehendak Allah, yang sudah meninggakan hawa nafsunya. Diri itulah yang kelak ketika kembali kepada tuhan hanya akan disapa dengan penuh kemesraan:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu kepada tuhanmu dengan perasaan rela dan direlakan (QS 89: 27-28)

Nafsu muthmainnah adalah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.

F. Hadist -hadits tentang Hati

Qalb mempunyai dua makna: Qalb dalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, Qalb dapat kita terjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi Saw. bersabda, "Di antara tubuh itu ada mudghah, ada suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah mudghah itu adalah qalb.”

Orang sering menerjemahakan qalb disini sebagai “hati”, sehingga mereka berkata, "Kalau hati kita ini bersih maka seluruh tubuh kita bersih.” Padahal sebenarnya yang dimaksud disini adalah hati dalam bentuk jasmani. Karena Nabi Saw. menyebutnya segumpal daging.

Ada seorang penulis Mesir yang menulis sebuah buku tentang kedokteran islam. Dia merujuk hadis ini untuk menunjukan peran jantung dalam seluruh mekanisme tubuh kita. Bagaimana kalau tubuh kita mengalami gangguan? Apakah yang akan segera terjadi pada bagian tubuh yang lain. Dan bagaimana pula kalau jantung kita ini baik, maka apakah yang akan terjadi pada seluruh bagian tubuh ini?

Itulah yang dimaksud oleh Rasululah bahwa di dalam tubuh kita ada segumpal daging yang apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Dan segumpal daging itu adalah al-qalb, jantung dalam bentuk fisik.

Ada juga qalb dalam arti kekuatan ruhaniah yang mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsi dan mencerapi. Misalnya perasaan sedih dan gembira.yang berpikir dan yang merenungkan itu kekuatan batin yang disebut qalb. Dan ini dalam bahasa indonesia disebut hati. Sehingga kalau ada sebutan, "Hatinya hancur,” maka yang dimaksud bukan jantungnya hancur tetapi ada bagian jiwa orang itu yang hancur.

Ketika Nabi mengatakan, ”Ada segumpal daging dalam tubuh,” Nabi juga melambangkan peran hati dalam kesehatan jiwa. Sebagaimana jantung memegang peranan penting dalam kesehatan tubu, maka begitu pula hati. Ia memegang peranan amat penting dalam kesehatan ruhani kita. Kalau hati kita rusak, maka seluruh ruhani kita rusak; dan kalau hati kita baik, seluruh ruhani kita baik.

Banyak hadits nabi yang membicarakan qalb ini. Di antaranya, Rasulullah Saw. mengatakan bahwa “Qalb ini karena sifat berubah-ubahnya bagaikan selembar bulu dipadang pasir yang bergantung pada akar pepohonan kemudian dibolak-balik oleh angin dari atas kebawah “.8

Ketika Rasulullah menggambarkan hati itu seperti selembar bulu yang tergantung di atas pohon yang ditiup angin, beliau mengingatkan kita agar berhati-hati menghadapi perubahan itu. Karena itu, ada do’a yang diajarkan Nabi untuk mengokohkan hati, yaitu “Teguhkanlah hatiku dalam agama-mu”.

Dalam pertanggung jawaban yang berkaitan dengan amal manusia, Allah menghukum bukan hanya amal lahiriyah dalam bentuk perbuatan yang jelek tetapi juga niat yang jelek yang tersembunyi dalam hati. Al-Qur’an mengatakan: Allah mennghukum kamu dengan apa yang dilakukan oleh hati kamu (QS 2:225).

Dalam ayat lain disebutkan

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.:

"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36)

Jadi, jangan mengira kalau kita punya niat yang jelek itu tidak dimintai pertanggungjawaban. Itu juga dihukum.

"Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan". (QS 2:27)

Jadi, termasuk niat yang ada dalam hati pun akan di hitung Allah Swt Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan niat itu.

Dalam suatu perjalanan yang panjang dengan udara yang panas, para sahabat kelelahan. Waktu itu Rasulullah mengatakan, “Ada orang yang tinggal di Madinah dan tidak ikut berangkat dengan kita tetapi ia mendapatkan ganjaran seperti ganjaran amal yang sedang kita laksanakan”. Ketika para sahabat bertanya,:”Mengapa?” Rasulullah menjawab, “Karena dia telah berniat pergi bersama kita, tetapi karena uzur yang tidak dapat ditolak, dia tidak bisa berangkat bersama kita, dan Allah membalas mereka semua dengan niatnya.”

Bila ada laki-laki menikah dengan mahar yang tidak dibayar kontan, sedangkan ia berniat dalam hati untuk tidak membayarnya, maka Allah menghitung laki-laki tersebut berzina. Kalau ada orang meminjam uang kemudian dalam hatinya ada niat tidak mau membayar, Allah menghitungnya sebagai pencuri. Dari sini Allah menghukum seseorang berdasarkan niat yang bergetar didalam hati, karena niat itu letaknya di dalam hati.

Marilah kita melihat apa peranan hati didalam ruhani kita menurut beberapa riwayat : Rasulullah Saw. bersabda : “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya”.9

Imam Ja’far Ash-shadiq juga mengatakan, “Sesungguhnya posisi qalb sama seperti pemimpin ditengah-tengah manusia.” Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah punya wadah dibumi dan wadah itu adalah hati. Maka sesungguhnya hati yang dicintai oleh Allah adalah hati yang lembut, yang bersih dan yang kokoh.” Kemudian Nabi melanjutkan, “Yang paling lembut adalah yang lembut terhadap sesama saudaranya, dan yang bersih adalah yang bersih darri dosa-dosa, sedangkan yang kokoh adalah keteguhan seseorang dalam membela agama Allah sedang dia tidak takuk celaan orang yang mencelanya”

Dalam riwayat lain, nabi SAW bersabda, “Allah tidak melihat tubuh tubuh kamu, Allah tidak melihat harta- harta kamu tetapi Allah melihat hati dan amal amal kamu.” Disebutkan dalam hadits yang lain, “Hati ada tiga macam. Pertama, hati yang terbalik, yaitu hati yang tidak bisa menampung kebaikan sedikitpun dan itu adalah hati orang kafir.

Kedua, hati yang di dalamnya ada titik hitam, yang di dalamnya bertarung antara kebaikan dan kejahatan. kalau salah satu kuat, maka yang kuat itulah yang menang.

Ketiga hati yang terbuka yang di dalamnya ada lamppu yang bersinar sinar sampai hari kiamat. itu hati orang mukmin. Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu dia berjalan di tengah tengah ummat manusia (QS. 6:122).”

Imam Ali mengatakan: "Hati yang paling baik adalah hati yang paling bisa menyimpan kebaikan.”

1. Perubahan hati

Qolb adalah masdar dari qalaba, artinya membalikan, mengubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba adalah taqallaba, artinya bolak-balik, berganti-ganti, berubah-rubah.”Summiya al-qalb li taqallubih” 'disebut qalb karena berubah-rubahnya.' Imam ja’far Ash-Shadiq menyebutkan hati itu ada empat.

a. Hati yang tinggi

Tingginya hati ini ketika zikir kepada Allah Swt. Kalau orang senantiasa berzikir kepada Allah hatinya akan naik ke tempat yang tinggi.

b. Hati yang terbuka

Hati ini diperoleh apabila kita ridha kepeda Allah Swt. Ketiga, hati yang rendah, terjadi ketika kita disibukkan oleh hal-hal yang selain Allah.

c. Hati yang mati atau hati yang berhenti

Hati ini terjadi ketika seseorang melupakan Allah Swt. sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga agar hati kita selalu hidup, maka ingatlah kepada Allah Swt. Dalam salah satu hadis dikatakan, "Kalau hati tidak diisi dengan zikir, maka ia bagaikan bangkai.”

Dalam surat Asy-Syu’ara ayat 87-89 dan Ash-shffat ayat 83-84 di sebutkan hati yang selamat, bersih atau suci qalbun salim. Allah berfirman:

Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka di bangkitkan.(yaitu)di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna.Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS26:87-89).

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongan (Nuh).(ingatlah)ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (QS 37:83-84).

Nabi pernah ditanya tentang apa yang dimaksud qalbun salim ini, kemudian Nabi menjawab, "Itu keyakinan agama yang tidak dicampuri dengan keragu-raguan hawa nafsu.” Mungkin sulit untuk dapat menggambarkan keyakinan itu.Tetapi,ada penelitian yang pernah saya ceritakan dalam buku Islam Alternatif yaitu penelitian Gordon W. Allport. Seperti Anda ketahui, di situ disebutkan ada dua macam cara beragama yaitu intrinsik dan ektrinsik. Mula-mula Alport mengadakan penelitian tentang hubungan orang yang beragama dengan kesehatan jiwanya. Ada anggapan makin beragama orang itu makin sehat jiwanya.yang. Menurut Alport, harus di tentukan dulu adalah tipe orang beragama itu. Kalau beragama itu diukur dengan beberapa banyak datang ke masjid atau ke gereja, keberagamaan tidak menjamin kesehatan jiwa.

Karena sering sekali orang datang ke gereja, dalam penelitian Alport, bukan karena keyakinan tetapi karena hawa nafsu. Mungkin seseorang datang ke gereja ingin memperoleh pasangan, ingin mendapat pengakuan sosial, atau menjalin relasi bisnis.

Agama seringkali dipakai sebagai tempat pelarian.orang lari kepada agama untuk memperkokoh harga dirinya, ada yang karena frustrasi akibat pergumulan hidup. Ia menemukan satu aliran agama yang menawarkan apa yang di carinya. Itu keberagamaan ektrinsik. Bagaimana beragama yang intrinsik. Rosululloh Saw. Menyebutkannya, “Keyakinan yang di masuki hawa nafsu." Beliau bersabda, "qalb yang selamat adalah keyakinan yang tidak dimasuki keraguan dan hawa nafsu.” Di sini orang yang beramal tanpa berkeinginan untuk pamer dan ingin dipuji.

Allah Swt.berfirman:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS.13:28).

Dalam ayat itu disebutkan bahwa cara memperoleh ketenteraman hati adalah dengan berzikir kepada Allah, tetapi tidak semua zikir itu menenteramkan hati. Karena itu, syarat zikir yang dapat menenteramkan hati adalah zikir orang yang beriman. Orang yang tidak beriman tidak bisa tenteram dengan zikir. Sebaliknya, orang yang beriman tidak akan tenteram hatinya kecuali dengan zikir kepada Allah.

Karena itu, kalau anda beriman jangan mencari ketenteraman pada kekayaan, kemasyhuran, atau hal-hal duniawi lainnya. Tetapi ketenteraman itu hanya di peroleh dengan zikir kepada Allah.

Ketenteraman ada kaitannya dengan keimanan seperti dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 4:

"Dialah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)...(QS. 48:4).

Allah menurunkan ketenteraman kepada hati orang yang beriman. Ketenteraman hati itu tampak dari gejala fisik mereka. Ada orang yang bertingkahlaku qurani dan ada pula manusia yang bertingkah laku syaithani. Orang yang tenteram menunjukan perilaku qurani.

Di Iran sesudah revolusi, ada banyak ulama yang mati ketika menyampaikan khutbah. Orang yang mati itu dinamakan syahid mimbar. Pada suatu waktu ketika khatib menyampaikan khutbah di sekitar mimbar meledak sebuah bom. Beberapa orang terpental. Kebetulan khutbah itu direkam dalam televisi, sehingga dapat disaksikan ulang. Termasuk tingkah laku khatib. Anehnya, khatib itu tenang saja, tidak memiliki rasa takut sedikitpun, seperti terlihat dari raut wajahnya. Beliau hanya memalingkan mukanya sedikit untuk menghindari seburan debu dari arah ledakan tadi. Setelah selesai ledakan, khatib melanjutkan khutbah lagi. Inilah contoh tingkah laku yang qurani, yang tumbuh dari zikir kepada Allah.

Ada tingkah laku lain. Segera setelah imam Khomaeni meninggal dunia, Salman Rusdie ditanyai oleh seorang wartawan surat kabar, "Apakah rasa takut anda tenang hukuman mati dari khomaeni ini dilebih-lebihkan orang? "Dia menjawab, ”ya.” Artinya,ungkapan Salman Rushdie itu dilebih-lebihkan orang. Ia sebetulnya tidak takut sama sekali. Tetapi begitu Salman Rushdie mengucapkan jawaban, ”ya,” di luar Gedung ada sebuah mobil naik ke trotoar dan kebetulan knalpotnya meledakkan letupan seperti tembakan.Waktu itu tubuh Salman Rushdie menggetar ketakutan. Wartawan yang menyaksikan itu mengatakan, "Ini menunjukan seluruh kehidupan Salman rushdie dipenuhi oleh rasa takut yang berkepanjangan.”

Saya menceritakan dua peristiwa ini untuk menunjukan tentang adanya dua macam tingkah laku itu. Yaitu tingkah laku yang dipenuhi oleh zikir kepada Allah dan tingkah laku yang di penuhi dengan rasa was-was.

Contoh lain, Abul A’la A-Maududi berkhutbah. Pada waktu khutbah ada sebuah tembakan diarahkan ke wajahnya. Semua jamaah tiarap menghindar dari tembakan itu, tetapi Maududi tetap di mimbar. Orang menyuruh beliau bertiarap tetapi Maududi menjawab, "Kalau aku ikut turun, siapa lagi yang akan berkhutbah di sini.”

Hati itu adalah ibarat bejana, selama bejana itu dipenuhi dengan air, maka udara tidak akan bisa masuk. begitu juga hati yang disibiukan dengan hal-hal selain Allah, maka tidak akan dapat masuk kedalam hati tersebut perasaan ma’rifat akan keagungan Allah ta’la. maka untuk menyibukan hati tersebut kita perlu memenejnya dengan penuh ketelitian sehingga sesuatu yang datang dari luar yang sifatnya akan menghancurkan hati kita akan tertolak dengan sendirinya.

Apabila syeitan-syeitan itu tidak mengerubungi hati anak adam, niscaya mereka memandang ke alam malakut yang ada di langit.

2. Manajemen Qalbu

Manajemen Qalbu berarti memenej Qalbu yang merupakan tempat bersemayamnya niat, yakni menentukan apakah perbuatan seseorang berharga atau sia-sia, mulia atau nista. Niat itu selamanya diproses oleh akal pikiran agar bisa direalisasikan dengan efektif dan efisien oleh jasad kita dalam bentuk perbuatan. Setiap keinginan, perasaan atau dorongan apapun yang keluar dari dalam diri akan terasing niatnya hingga melahirkan suatu kebaikan dan kemuliaan serta penuh manfaat, dan dapat merespon segala bentuk aksi, apakah itu perbuatan baik atau buruk secara proporsional.10

Respon yang terkelola dengan sangat baik akan membuat reaksi yang dikeluarkan adalah kemuliaan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, aktivitas lahir dan pikirannya telah tersaing sedemikian rupa oleh proses manajemen Qalbu. Maka yang muncul hanyalah sikap yang pemuh kemuliaan dengan pertimbangan nurani yang tulus. Intinya orang yang mengamalkan manjemen Qalbu adalah orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi ataupun kehadiran menjadi sesuatu yang bernilai kemulian dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.

Pelatihan manajemen Qalbu merupakan pelatihan yang menanamkan sebuah paradigma baru dalam mengarungi kehidupan, yaitu dengan upaya memenej potensi qalbu, di mana peserta akan lebih memahami dan menghayati arti pentingnya nilai-nilai yang hakiki yang perlu dipegang dan diamalkan dalam kehidupana sehari-hari di rumah, pekerjaan maupun dalam lingkungan masyarakat. Dan menjadi orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi atau kejadian-kejadian menjadi sesuatu yang bernilai kemuliaan dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya

PENGERRTIAN ASBABUL NUZUL



Pengertian Asbabun Nuzul
Ungkapan Asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan nuzul Secara etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebabyang melatar belakangi terjadinya sesuatuatau dalam hal ini adalah sebab-sebab turun ayat. dalam pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun. Banyak pengertian terminology yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya:
1.      menurut Az Zarqani:
“Asbab An-Nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al Qur’an sebabagi penjelas hokum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2. Ash shabuni:
“Asbab An-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang mulia yang berhubungan dengan kejadian tersebut baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agam.”
Subhi Shalih
ما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
3.Mana Al Qathan
“Asbab An-Nuzul”
Adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadibaik berupa suatu kejadisn atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
Kendatipun redaksinya pendifinisian diatas berbeda namun hal itu menyimpulan bahwa Asbab An-Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya Al Qur’an.
Bentuk bentuk peristiwa yang melatar belakngi turunnya Al Qur’an itu sangat beragam , diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan anatara suku aus dan suku khazraj, kesalahan besar seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan pertannyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat sedang atau yang akan terjadi.
Persoalan apakah semua ayat Al Qur’an diturunkan berdasarkan Asbab An-Nuzul ternyata telah menjadi bahan kntroversi dikalangan para ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat Al Qur’an diturunkan dengan asbabun nuzul, , sehingga diturunkan tanpa ada yang melatar belakanginya (ibtida’) dan ada pula Al Qur’an yang diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh sesuatu peristiwa(ghairu ibtida’)
Pendapat tersebut hempir merupakan konsensus para ulama ada yang mengatakan bahwa kesjarahan Arabi pra Al Qur’an pada masa turunnya Al Qur’an adalah latar belakanng turunnya Al Qur’an secara makro sementara riwayat –riwayat asbabun nuzul merupakan latar belakang mikronya. Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat Al Qur’an memiliki sebab-seba yang melatar belaknginya.

A. Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul, dalam pengertian literal bahasa verbal adalah sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Secara historis, al-Qur’an bukanlah wahyu yang turun dalam ruang hampa, tetapi ia mempunyai latar belakang, argumentasi dan faktor-faktor tertentu yan menjadikan dia “turun” ke bumi. Hal ini karena, al-Qur’an “diturunkan” sebagai alat untuk menjawab problematika kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, kehadirannya di alam material sangat terkait ruang dan waktu tertentu yang menjadi faktor-faktor di balik turunnya al-Qur’an.
Menurut Dr. Shubhi as-Shalih, pengertian asbabun nuzul secara terminologis adalah: Suatu peristiwa atau pertanyaan yang melatar belakangi turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, di mana ayat tersebut mengandung informasi mengenai peristiwa itu, atau memberikan jawaban terhadap pertanyaan, atau menjelaskan hukum yang terkandung dalam peristiwa itu, pada saat terjadinya peristiwa / pertanyaan tersebut.
Berdasarkan definisi ini maka ilmu asbabun nuzul dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an, baik berupa peristiwa maupun berupa pertanyaan. Jika sebabnya berupa peristiwa, maka ayat yang turun mengandung informasi tentang peristiwa tersebut atau memberikan penjelasan terhadap hukum yang terkandung di dalamnya, pada saat peristiwa itu terjadi. Jika sebabnya berupa pertanyaan, maka ayat yang turun akan berfungsi sebagai jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
B. Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui asbabun nuzul adalah upaya untuk membedah antara dua hal yaitu sebab dan musabbabnya, atau dalam bahasanya Nasr Hamid Abu Zaid menguak dan menghubungkan antara realitas khusus (sebab) ke realitas yang menyerupainya (musabbab). Akan tetapi harus disadari bahwa transformasi dari “sabab” ke “musabbab”, atau dari realitas khusus ke realitas yang menyerupainya, harus didasarkan pada tanda-tanda yang terdapat ada struktur teks itu sendiri.
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesuatu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya, dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam pemahamanya memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, di samping tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Al-Wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui asbabun nuzul.
C. Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai Asbabun Nuzul
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai asbabun nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufassir kepadanya sebagai berikut:
Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: Ayat ini turun mengenai urusan ini, atau Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan asbabun nuzul, kecuali bila ada qarinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan asbabun nuzulnya.
Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya ayat ini turun mengenai urusan ini. Sedang riwayat yang lain menyebutkan asbabun nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbabun nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul: Dari Nafi’ disebutkan: Pada suatu hari aku membaca (Istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu Umar: Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan? Aku menjawab: Tidak, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang. Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan asbabun nuzul.
Di sisi lain sebagian para ulama menjelaskan bahwa ada yang beranggapan bahwa disiplin ilmu ini tidak mempunyai kegunaan ia hanya berfungsi sebagai sejarah. Dalam hal ini ia salah, justru disiplin ini mempunyai kegunaan .
Sementara itu terdapat riwayat yang sangat tegas menyebutkan asbabun nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan orang-orang Yahudi berkata: Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat tersebut. Maka riwayat Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
D. Makna Macam-macam Ungkapan Asbabun Nuzul
Peristiwa atau pertanyaan yang disebut sebagai asbabun nuzul itu terjadinya pada masa Rasulullah, atau lebih khusus lagi, pada masa turunnya ayat-ayat Al-quran. Dengan demikian asbabun nuzul hanya dapat diketahui melalui penuturan para sahabat Nabi yang secara langsung menyaksikan terjadinya peristiwa atau munculnya pertanyaan asbabun nuzul. Hal ini berarti, bahwa asbabun nuzul haruslah berupa riwayat yang dituturkan oleh para sahabat.
Para sahabat dalam menuturkan asbabun nuzul menggunakan ungkapan yang berbeda antara suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Perbedaan ungkapan tersebut tentunya mengandung perbedaan makna yang memiliki implikasi pada status asbabun nuzulnya.
Macam-macam ungkapan/redaksi yang digunakan sahabat dalam mendeskribsikan asbabun nuzul antara lain:
  1. Kata سبب (sebab). Contohnya seperti: سَبَبُ نُزُوْلِ هَـذِهِ الاَ يَةِ كــذَا… (sebab turunnya ayat ini demikian …). Ungkapan (redaksi) ini disebut sebagai redaksi yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya, sebab nuzul yang menggunakan redaksi seperti ini menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang turunnya ayat, tidak mengandung makna lain.
  2. Kata فـــ (maka). Contohnya seperti: حَدَثَتَ كَذَا وَ كَذَا فَـنَزَلَت الآيَةُ (telah terjadi peristiwa ini dan itu, maka turunlah ayat). Ungkapan ini mengandung pengertian yang sama dengan penggunaan kata sabab, yakni sama-sama sharih (jelas/tegas).
  3. Kata في (mengenai/tentang). Contohnya seperti: نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِيْ كَذَا و كَـذَا … (ayat ini turun mengenai ini dan itu). Ungkapan seperti ini tidak secara tegas (ghairu sharih) menunjukkan sebab turunnya suatu ayat. Akan tetapi masih dimungkinkan mengandung pengertian lain.
E. Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Dalam memahami makna berbeda ayat al-Qur’an yang mengandung lafal umum dan dikaitkan dengan sebab turunnya, para ulama pendapat dalam menetapkan dasar pemahaman. Karena itu, berkaitan dengan masalah ini ada dua kaidah yang bertolak belakang.
Kaidah pertama menyatakan:
اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus).
Kaidah kedua menyatakan sebaliknya:
اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).
Contoh penerapan kaidah pertama: Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].
Jika dilakukan pemahaman berdasarkan bentuk umumnya lafal terhadap surat An-Nur ayat 6 di atas, maka keharusan mengucapkan sumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa tuduhannya adalah benar, berlaku bagi siapa saja (suami) yang menuduh isterinya berzina. Pemahaman yang demikian ini (berdasarkan umumnya lafal) tidak bertentangan dengan ayat lain atau hadits atau ketentuan hukum yang lainnya.
Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115: Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).
Jika dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan kaidah pertama, maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain (ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan dengan asbabun nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil-Haram). Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.
F. Urgensi Asbabun Nuzul
Seperti yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa di antara kegunaan mempelajari asbabun nuzul adalah bisa untuk mengetahui aspek hikmah yang mendorong munculnya hukum di-tasyri’kan (diundangkan); mentakhsish hukum bagi mereka yang mempunyai pendapat bahwa yang menjadi pertimbangan adalah “sebab khusus”; terkadang ada kata yang umum dan ada dalil yang berfungsi mentakhsisnya.
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu al-Qur’an, seperti yang dijelaskan oleh Abu Mujahid , adalah oleh guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya. Ilmu asbabun nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang asbabun nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madini guru Imam al-Bukhari r.a. Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab asbabun nuzul karangan al-Wahidi sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab dengan judul Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul. Oleh karena pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya / hukumnya tanpa ilmu asbabun nuzul.[‘
G. Kegunaan Asbabun Nuzul
Keharusan mengetahui asbabun nuzul untuk memahami isi kandungan al-Qur’an tentu tidak untuk semua ayat al-Qur’an. Karena tidak semua ayat dalam al-Qur’an memiliki asbabun nuzul. Bahkan ayat yang turun tanpa asbabun nuzul jumlahnya jauh lebih banyak daripada ayat-ayat yang mempunyai asbabun nuzul. Namun pembahasan tentang asbabun nuzul mendapat perhatian yang sangat besar dari para ahli Ulum al-Qur’an. Hal ini menunjukkan pentingnya kajian asbabun nuzul dalam Ulum al-Qur’an. Di antara kegunaannya adalah:
  1. Mengetahui rahasia dan tujuan Allah mensyariatkan agamanya melalui ayat-ayat al-Qur’an.
  2. Memudahkan pemahaman al-Qur’an secara benar, sehingga terhindar dari kesukaran dan memperkecil kemungkinan salah.
  3. Asbabun nuzul memperkuat hafalan al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang memiliki kemiripan ungkapan.

A.    1. Pengertian Azbabun Nuzul
Menurut bahasa “Azbabun Nuzul” – Sebab-sebab turunnya al-Qur’an, yang mana al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 23 tahun.
Sedangkan menurut Shubhi Al-Saleh dalam mendefinisikan Azbabun Nuzul yaitu:
“sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat  yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tertentu”.
2. Macam-macam Azbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, Azbabun Nuzul dapat dibagi menjadi:
-          Ta’addud al-Asbab wa al-Nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu).
-          Ta’addud al-Nazil wa al-Asbab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
Sebab turun ayat disebut Ta’addud bila ditemukan dua ayat atau yang berbeda atau lebih tentang seba turun suatu ayat atau sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab turun itu disebut Wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu. Suatu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut Ta’addud an-Nazil , bila inti persoalan yang terkandung dalam  adlah sebab ayat turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan.
Beberapa ayat yang tidak terkait dengan aasbabun Nuzul
a.       Menjelaskan tentang Nabi-nabi dan rasul.
b.      Kejadian-kejadian masa lampau dan masa sekarang.
c.       Kejadian ghaib.
d.      Tentang hari kiamat.
e.       Tentang adanya surga dan neraaka.
B.     Kaedah-kaedah Azbabun Nuzul
Lafal-lafal dari riwayat yang shahih tidak selalu berupa Nash shahih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat, diantaranya ada yang dengan pernyataan yang konkrit, dan ada pula dengan bahasa yang samar yang kurang jelas maksudnya. Sebab, mungkin yang dimaksudkan itu adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat itu.
Apabila seorang perawi menerangkan dengan lafal/kata “sebab” atau memakai fa’ta’qibiyyah “fa’ yang mempunyai arti= “maka/kemudian”, yang masuk ke dalam materi turunnya ayat, sesudah ia menerangkan suatu peristiwa/sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW. Misalnya ia berkata:


Artinya: “terjadi peristiwa ini aatau nabi ditanya tentang peristiwa ini, maka turunlah ayat ini”.
            Maka yang demikian itu, merupakan Nash/pernyataan yang jelas menunjukkan sebab turunnya ayat itu. Tetapi apabila seorang perawi menyatakan:
__________
“ayat ini turun tentang itu” maka ibarat ini mengandung dua kemungkinan, yaitu: mungkin itu sebab turunnya ayat tersebut dan mungkin pula mengandung suatu hukum dalam ayat itu. Dan apabila seorang perawi berkata:
__________
“ ayat ini turun tentang hal itu” sedang perawi lain berkata:
__________
“ayat ini turun bukan tentang hal itu” maka jika lafal itu dapat menerima maksud dari kedua perawi itu, maka dapatlah dipertanggungkannya kepada kedua-duanya dan tak ada pertentangan antara kedua-duanya.
            Namun, apabila ada dua hadist yang sama-sama kuat, tarjih maka yang dianggap paling kuat adalah perawi yang mengalami kejadian tersebut.
            Para tabi’in berpendapat bahwa tidak bisa dikatakan hadist itu shahih apabila tidak disandarkan/dikuatkan pada hadits lain, walaupun hadits mursal yang diriwayatkan oleh seorang imam ahli tafsir yang dianggapnya mengambil dari sahabat Nabi yang dimekerti agar dipandang hadits itu shahih.
            Kaidah matan,
C.     Kegunaan Azbabun Nuzul
Secara terperinci, al-Zarqani menyebutkan tujuh macam diantara kegunaan atau faedah mengetahui Azbabun Nuzul:
1.      Pengetahuan tentang Azbabun Nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agamanya melalui al-Qur’an. Pengetahuan demikian akanmemberi manfaat baik bagi orang mu’min maup[un non-mu’min. Orang mu’min akan bertambah imannya dan mempunyai hasrat yang kuat untuk menerapkan hukum Allah dan mengamalkan kitabnya.
2.      Urwah yang