Selasa, 23 April 2013

URF SEBAGAI HUKUM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu ushul fikih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syari’at Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Ilmu ini juga merupakan suatu ilmu yang ditemukan sebagai seorang hakim dalam usaha memahami materi undang-undang secara sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang diperlukan oleh ulama’ fikih dalam melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan dan membandingkan antara beberapa madzhab dan pendapat.
Dalam ilmu ushul fiqh ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya adalah ‘urf yang akan kami coba diskusikan yang mana budaya atau ’urf sebagai salah satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari ulama’ untuk menjadikan hal tersebut sebagai salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata masyarakat, hal yang tentunya tidak semudah dengan apa yang sedang kita diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju, walaupun juga tidak sedikit yang tetap menjadikannya sebagai pijakan hukum.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa hakekat ‘urf secara epistemologi dan etimologi ?
b.      Apa saja macam-macam ‘urf ?
c.       Bagaimana kedudukan ‘urf sebagai dalil syara’ ?
d.      Apa saja kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan ‘urf ?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian al ‘urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim  Zaidah, istilah ‘urf ialah sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara “urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.[1]
Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.[2]

B.     Macam-macam al-‘urf
Al-‘urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban.[3]
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:
1.      Dari segi materi yang biasa dilakukan:
a.       ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya: kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (mu’annats). Penggunaan kata walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenai waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam surat an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.
b.      ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Contohnya: (1) Jual beli barang-barang yang ringan (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli. (2) Kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.

2.      Dari segi ruang lingkup penggunaannya:
a.       Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Contohnya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau menidakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.
b.       Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya: orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah, sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.

3.      Dari segi penilaian baik dan buruk:
a.       Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya: memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal-bihalal (silaturrahmi) saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b.      Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contohnya: berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).[4]

C.     Kedudukan ‘urf sebagai dalil syara’.
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara’. Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama’ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ulama fiqh berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.[5]

D.    Kaidah-kaidah ‘urf
Di terimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat di tampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf  itu berubah.
Inilah yang di maksud oleh para ulama’, antara lain Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat تغيير الأحكام بتغييرالأزمان  والأمكنة maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.

Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang berhubungan dengan ‘urf, diantaranya adalah:
1.      Adat itu adalah hukum (العادة المحكمة)
2.      Apa yang telah ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa, maka ia dikembalikan pada ‘urf        Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
أمربالعرفواعرضعنا الجاهلين (الأعراف 199)
Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh.
3.      Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat (لاينكرتغيرالأحكام بتغيرالأزمنة والأمكنة)
4.      Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat
(المعروف عرفا كالمشروط شرطا)
5.      Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت بالعرف كالثابت بالناص)

Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf  itu sendiri.




BAB III
KESIMPULAN

Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara “Urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘Urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat.

Macam-macam adat atau al ‘Urf:
1.      Ditinjau dari segi materi:
a.       ‘Urf qauli
b.      ‘Urf fi’li
2.      Ditinjau dari segi ruang lingkup:
a.       ‘Urf umum
b.       ‘Urf khusus
3.      Ditinjau dari segi penilaian baik dan buruk:
a.       ‘Urf shahih
b.      ‘Urf fasid

Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum syara’ dan putusan perkara. Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’.

Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang berhubungan dengan ‘urf, diantaranya adalah:
1.      Adat itu adalah hukum (العادة المحكمة)
2.      Apa yang telah ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa, maka ia dikembalikan pada ‘urf        Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
أمربالعرفواعرضعنا الجاهلين (الأعراف 199)
Suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh.
3.      Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat (لاينكرتغيرالأحكام بتغيرالأزمنة والأمكنة)
4.      Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat
(المعروف عرفا كالمشروط شرطا)
5.      Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash
(الثابت بالعرف كالثابت بالناص)


























BAB IV
PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.





















DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. 2011. Ushul Fikih 2. Prenada Media Grup: Jakarta
Khallaf, Abdul Wahhab. 1977. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Pustaka Amani: Jakarta.
Umar, Drs. Muin, dkk. 1986. Ushul Fiqh 1. Depag RI: Jakarta.







[1]Drs. Muin Umar dkk, Ushul Fiqh 1, hlm. 150.
[2] Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam), hlm. 117.
[3]Ibid.
[4] Prof. Dr. H. Amin Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, hlm. 389-392.
[5] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, hlm. 118-119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar