Minggu, 16 Juni 2013

sistem demokrasi

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Demokrasi adalah sebuah kerja kultural, sosial dan politik sekaligus. Ia tidak hanya soal membangun pranata politik semisal dewan perwakilan atau pemilu. Demokrasi adalah juga perkara membangun sikap mental, spirit yang merupakan core values dari demokrasi itu sendiri semisal toleransi, kesamaan dan kebebasan. Karena itu ia hadir sekaligus sebagai kebutuhan budaya, sosial dan politik.
Sebagai sebuah kerja besar, demokrasi memerlukan komitmen seorang intelektual guna memberi visi tentang arah, sense of diraction, sekaligus menyediakan bingkai dan perspektif bagi politik sehari-hari sehingga tetap dalam arah yang sudah disepakati. Ia juga memerlukan ketekunan seorang pelukis untuk meletakkan bagian demi bagian pada tempatnya. Ia juga memerlukan sikap kritis dan ketajaman oleh seorang ahli hukum, untuk menggugat jalannya bila menyimpang.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian demokrasi?
2.      Apa unsur penegak demokrasi?
3.      Model-model demokrasi
4.      Bagaimana sejarah dan perkembangan demokrasi di Indonesia?











BAB II
Pembahasan
1.      Pengertian Demokrasi
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut:
a.       Menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b.      Menurut Sidney Hook, berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada mayoritas yang diberikan secara bebasa dari rakyat dewasa.[2]
c.       Menurut S.P Varma, demokrasi merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai kepada keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat dan keinginan rakyat adalah hasil dan bukanlah dorongan kekuasaan dari proses politik itu serta tidak terdapat dugaan bahwa (1) ada kebutuhan bagi ukuran moral dalam keputusan-keputusan tersebut (2) keputusan-keputusan tersebut berhubungan dengan keinginan yang dikehendaki rakyat, atau (3) ada satu tuntutan pertanggung jawaban rakyat dalam seluruh proses tersebut.[3]
Dengan demikian, makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenahi kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian, negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
2.      Unsur penegak demokrasi
Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata kehidupan sosial dan sistem politik sangat bergantung pada tegaknya unsur penopang demokrasi itu sendiri. Unsur-unsur yang dapat menopang tegaknya demokrasi antara lain: (1) negara hukum (2) masyarakat madani (3) infrastruktur politik (parpol) dan (4) pers yang bebas dan tanggung jawab.
1.      Negara hukum
Dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia istilah negara hukum sebagai terjemah dari rechtsstaat dan the rule of law. Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberi perlindungan hukum bagi warga negara melalui kelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia.
Selanjutnya dalam konferensi International commission of jurists di Bangkok seperti yang dikutip oleh Moh. Mahfudh MD disebutkan bahwa ciri-ciri negara hukum sebagai berikut:
-          Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh atas hak yang dijamin.
-          Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
-          Adanya pemilu yang bebas.
-          Adanya kebebasan menyatakan pendapat
-          Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
-          Adanay pendidikan kewarganegaraan.
Sementar itu, istilah negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia adala negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)
2.      Masyarakat madani (civil Society)
Masyarakat madani (civil Society) dicirikan dengan masyarakat terbuka , masyarakat yang terbebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi sebab, salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan negara atau kepemerintahan.
Lebih lanjut menurut Gellner, masyarakat madani (civil Society) bukan hanya merupakan syarat penting atau prakondisi bagi demokrasi semata, tetapi tatanan nilai dalam mayarakat madani (civil Society)  seperti kebebasan dan kemandirian juga merupakan sesuatu yang inhern baik secara internal (dalam hubungan horisontal yaitu hubungan antar sesama warga negara) maupun secara eksternal (dalam hubungan vertikal yaitu hubungan negara dan pemerintahan dengan masyarakat atau sebaliknya).
Sebenarnya contoh yang paling ideal dalam kehidupan yang demokratis adalah yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika beliau mendirikan dan membentuk negara Madinah. Bahkan kepemimpinan Rasulullah SAW, ketika itu merupakan sebuah gagasan etika pluralitas yang pertama dan tertua. Dalam perjanjian Madinah, Rasulullah SAW membuat kesepakatan bersama untuk saling melindungi dan bekerja sama. Beliau memberi kebebasan kepada komuniyas non muslim untuk menjalankan hukum sesuai dengan ajaran agamanya. Pada waktu itu kehidupan komunitas muslim dan non muslim saling menghargai satu sama yang lainnya. Sebuah tatanan ideal dan menakjubkan.[4]
3.      Infastruktur Politik
Komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari partai politik (political party), kelompok gerakan (movement group) dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan (pressure atau intrest group). Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya.
Menciptakan dan menegakkan demokrasi dalam tatanan kehidupan kenegaraan dan pemerintah, partai politik seperti dikatakan oleh Miriam Budiardjo, mengemban beberapa fungsi: 1. Sebagai sarana komunikasi politik, 2. Sebagai sarana sosialisasi politik, 3. Sebagai sarana rekrutmen kader dan anggota politik, 4. Sebagai sarana pengatur konflik. Keempat fungsi partai politik tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi, kontrol rakyat melalui partai politik terhadap kehidupan kenegaraan dan pemerintahan serta adanya perhatian penyelesaian konflik secara damai (conflic resolution).
Konsep budaya politik itu sendiri juga menyumbangkan dasar yang sangat berguna  dalam mengamati jalinan antara faktor ekonomi dan sosial dengan performance politik, yang kesemuanya berpengaruh bagi prospek pembanguna ekonomi dan perubahan politik yang stabil.[5]
4.      Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan.Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan.Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara.
Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.[6]
3.      Model-model Demokrasi
Dalam sejarah teori demokrasi terletak suatu konflik yang sangat tajam mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat (suatu bentuk politik dimana warga negara terlibat dalam pemarintahan sendiri dan pengaturan sendiri) atau suatu bantuan bagi pembuatan keputusan (suatu cara pemberian kekuasaan kepada pemerintahan melalui pemberian suara secara periodik). [7]
Sklar mengajukan lima corak atau model demokrasi yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi partisipasi dan demokrasi konstitusional. Penjelasan kelima model demokrasi tersebut sebagai berikut:
a.       Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak negara Afrika menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa bertahan.
b.      Demokrasi terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercayai rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kandaraan untuk menduduki kekuasaan.
c.       demokrasi sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.
d.      Demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antar penguasa dan yang dikuasai.
e.       Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerjasama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya.
Sedangkan menurut Inu Kencana apabila demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan terdiri dari 2 model, yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (presiden, wakil presiden, gubernur, bupati dan wali kota) dilakukan rakyat secara langsung melalui pemilu. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau legislatif (DPR, DPD, DPRD) dilakukan rakyat secara langsung.
Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak secara langsung berhadapan denga pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung, lembaga parlemen dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannaya denga pemerintahan atau negara. Dengan demikian demokrasi tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.[8]
4.      Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, dari masa kemerdekaan sampai masa ini dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dibagi menjadi empat periode, yaitu: a. Periode 1945-1959; b. Periode 1959-1965; c. Periode 1965-1998; d. Periode 1998-sekarang.
a.       Demokrasi pada periode 1945-1959
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok dengan Indonesia. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan DPR.
Undang-undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Koalisi yang dibangun dengan sangat sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional.
Disamping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh tempat dan saluran yang realitas dalam konstilasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mempunyai anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
b.      Demokrasi pada periode 1959-1965
Ciri-ciri periode ini adalah dominasi darri presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat dengan UUD 1945 membatasi seorang presiden sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi, ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah “membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (UUD memungkinkan seorang presiden dapat dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan UUD.
Satu pertanyaan yang patut dikedepankan adalah bagaimana rumusan demokrasi terpimpin dan apakah butir-butir pokok demokrasi terpimpin? Demokrasi terpimpin seperti dikemukakan oleh Soekarnop seperti dikutip oleh A. Syafi’i Ma’arif adalah demokrsasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam kesempatan ini dikatakan bahwa demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme dan otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan adala demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral yang sepuh, seorang tetua dan mengayomi.
Dalam pandangan A.Syafi’i Ma’arif demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam famili besar yang namanya Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Chek and balance dari legislatif dan eksekutif.
c.       Demokrasi pada periode 1965-1998
Landasan formil dari periode ini adalah pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin, kita telah mengadakan tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa demokrasi terpimpin dan atas dasar-dasar itu undang-undang No. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan pengadilan”. Dewan perwakilan rakyat gotong royong diberi beberapa hak kontrol, disamping ia tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah. Pimpinan tidak lagi mempunyai status menteri, begitu pula tata tertib yang meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat dicapai mufakat antara badan legislatif.
Ada beberapa perumusan tentang demokrasi pancasila sebagai berikut: a. Demokrasi dalam bidang politik, pada hakikatnya adalah menegakkan kembali azas-azas negara hukum dan kepastian hukum, b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara, c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak
d.      Demokrasi pada periode 1998-sekarang
Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu, dalam fase ini pula bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru.
Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci: yakni, (1) komposisi elit politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elit dan non elit, dan, (4) peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor itu harus jalan secara sinergis dan berkelindang sebagai modal untuk mengonsolidasikan demokrasi. Karena itu seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra langkah yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar (Azyumardi Azra, 2002). Pertama, reformasi sistem (Constitutional Reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (Institutional reform and powerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik. Ketiga, pengenbangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis.











BAB III
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa apabila kita mengambil demokrasi dalam arti universal dan komprehensif, maka sebuah demokrasi itu memang multi wajah. Demokrasi politik, demokrasi hukum, demokrasi ekonomi, demokrasi sosial, dan dalam setiap demokrasi yamng dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan, maka esensinya adalah keadilan. Jadi, kalau kita bicara demokrasi dalam arti komprehensif maka sesungguhnya kita sebagai bangsa dan umat bersama-sama, harus pula berbicara mengenai tegaknya keadilan politik, hukum, sosial, ekonomi dan pendidikan.
Begitu juga Ibnu Taimiyyah, yang sedemikian tegas dan jauh berpegang pada prinsip keadilan itu sebagai tatnanan sosial manusia yang akan menjamin kekukuhan dan kelangsungannya. Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibnu Taimiyyah, sehingga Ia menguatkan pandangan bahwa sesungguhnya Allhah akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun Islam dan dunia akan bertahan bersama keadilan dan kekafiran dan tidak akan bertahan lama bersama kezaliman dan Islam.











Daftar Pustaka
Held, David. 2004. Demokrasi dan Tatanan Global. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rasyada, Dede. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Prenada Media: Jakarta.
Nata, M. A, Dr. H. Abuddin. 2002. Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo: Jakarata.
Denny, J.A. 2006. Demokrasi Indonesia Visi dan Praktek. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Harjanto, Nicolaus Teguh budi. 1998. Memajukan Demokrasi Mencegah Disintegrasi. PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta.
http://akbarsenamangge.blogspot.com/2012/04/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi.html

















[1] Denny J. A, Demokrasi Indonesia Visi dan Praktik. Hlm. 9.
[2] Dede Rosyada dkk, Idemokrasi, hak asasi manusia dan Masyarakat Madani. Hlm. 110.
[3] Hendra Nurtjahjo, S.H., M. Hum. Filsafat Demokrasi. Hlm. 69.
[4] Dr. H. Abuddin Nata, M. A, Problematika Politik Islam Di Indonesia, hlm. 105
[5] Nicolaus Teguh Budi Harjanto, Memajuka Demokrasi Mencegah Disintegrasi. Hlm. 109.
[6] http://akbarsenamangge.blogspot.com/2012/04/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi.html
[7] David Held. Demokrasi dan Tatanan Global. Hlm. 5
[8] Dede Rosyada dkk, Idemokrasi, hak asasi manusia dan Masyarakat Madani. Hlm. 121-122

studi islam dikalangan ilmuwan muslim

STUDI ISLAM DI KALANGAN ILMUAN MUSLIM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah   : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Ibu Rokhmah Ulfah, M. Ag


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013




BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena pemahaman keislaman umat Islam masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif.[1]
Sejarah perkembangan studi Islam di kalangan ilmuwan muslim dari masa ke masa ada banyak kisah atau hal yang dapat dipelajari. Antara satu ilmuwan dengan yang lainnya memiliki ide pembaharuan yang berbeda dalam studi keislamannya.
Makna Islam sendiri berasal dari bahasa arab, terambil dari kata Salima yang berarti selamat sentosa . dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Islam adalah agama perdamaian, dan dua ajaran pokoknya yaitu keesaan Allah SWT dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.
Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh nabi Allah SWT, sebagaimana tersebut pada beberapa ayat kitab suci Al-Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah SWT, yang kita saksikan pada alam semesta.[2]   


II.                Rumusan Masalah

A.    Apa Pengertian studi Islam?
B.     Apa tujuan studi islam?
C.     Bagaimanakah studi Islam di kalangan ilmuan muslim?



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Studi Islam
Dirosah Islamiyah atau studi keislaman (di Barat di kenal dengan istilah Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan kata lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya, maupun praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Usaha mempelajari agama Islam dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga di laksanakan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi Islam bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi Islam bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek kegamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan. Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktek-praktek kegamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.[3]

B.     Tujuan Studi Islam
Studi terhadap misi ajaran islam secara komprehensif dan mendalam adalah sangat diperlukan karena beberapa sebab sebagai berikut:

a.       Untuk menimbulkan kecintaan manusia terhadap ajaran islam yang di dasarkan kepada alasan yang sifatnya bukan hanya normative, yakni karena diperintah oleh Allah SWT dan bukan pula karena emosional semata-mata melainkan karena didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional, kultural, dan aktual. Yaitu argumentasi yang masuk akal, dapat dihayati dan dirasakan oleh umat manusia.
b.      Untuk membuktikan kepada umat manusia bahwa Islam baik secara normatif maupun secara kultural dan rasional adalah ajaran yang dapat membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik, tanpa harus mengganggu keyakinan agama islam.
c.       Untuk menghilangkan citra negatif dari sebagian masyarakat terhadap ajaran Islam.

C.     Studi Islam di Kalangan Ilmuan Muslim
Masa kebangkitan Islam atau disebut dengan masa pembaharuan mulai muncul pada tahun 1800M. Semenjak umat Islam menyadari kemunduran dan ketertinggalannya dari bangsa-bangsa barat, timbullah ide-ide pembaharuan dalam Islam. Ide-ide itu muncul dari para tokoh pembaharuan dunia Islam untuk mengajak umat Islam agar sadar, bangkit, dan bangun dari tidur nyenyaknya. Umat Islam harus sadar bahwa bangsa barat datang bukan untuk membangun, melainkan untuk menjajah umat islam dan mengeruk kekayaan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Ide-ide para ulama’ pembaharuan itu, lambat laun mendapat tanggapan positif dari kalangan umat Islam dari seluruh dunia. Hal ini membuat bangsa-bangsa barat menjadi khawatir dan ketakutan oleh kekuatan dan bangkitnya umat islam tersebut.

Kekhawatiran bangsa barat tersebut akhirnya menjadi kenyataan pada masa itu. Muncullah ide dan gagasan pembaharuan dari kaum intelektual muslim dari berbagai negara  seperti India, Turki, Mesir, untuk menandai dimulainya abad kebangkitan umat Islam.

Para pembaharu dari kaum intelektual muslim tersebut melakukan studi keislaman dengan melakukan suatu gerakan pemurnian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai dengan ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Diantara para pembaharu tersebut adalah:

a.       Muhammad bin Abdul Wahab
Ulama’ besar yang tinggal di Najed, Saudi Arabia itu sangat keras berjuang melakukan pembaharuan akidah umat islam. Ia menganjurkan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu kitabnya yaitu kitab tauhid, sebuah kitab yang berisi tentang mengesakan Allah SWT dengan membasmi praktek-praktek tahayul, bid’ah khurafat yang ada pada umat Islam dan mengajak untuk kembali ke ajaran tauhid yang sebenarnya.

b.      Rifa’ah Badwi Rufi’ At-Tahtawi
Beliau pelopor pembaharu Islam di Mesir. Ia menganjurkan agar umat Islam membuka diri bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa barat. Diakui atau tidak, dan disadari atau tidak bahwa umat Islam pada waktu itu telah jauh tertinggal oleh bangsa barat.
Untuk membuka luas gagasannya, Ia menegaskan bahwa pintu ijtihad itu masih terbuka, tetap terbuka, dan tidak akan pernah di tutup sampai hari kiamat. Untuk itu, umat Islam segera berlomba-lomba mempelajari ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang dipelajari oleh bangsa-bangsa barat. Sebab hanya dengan demikian, umat Islam akan bangkit dari ketertinggalannya.

c.       Jamaludin Al Afghani
Beliau lahir di Asadabad dengan pemikiran pembaharuannya adalah supaya semua unsur umat Islam harus dipersatukan dibawah panji khilafah Islamiyyah dalam naungan Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kaum muslimin. Cotak pemerintahan otokrasi harus diubah dan diganti dengan pemerintahan yang demokratis. Kepala Negara harus mengadakan syura dengan pemipin-pemimpin masyarakat yang lebih berpengalaman. Untuk mengimpletasikan gagasan politiknya itu maka Al Afghani mengemasnya dengan gerakan Pan islamisme yaitu gerakan penyatuan umat Islam.

d.      Muhammad Abduh
Pembaharu Islam dari Mesir, beliau di lahirkan di sebuah kampung Mesir Hilir. Pemikiran pembaharuannya adalah pembebasan umat Islam dari belenggu taqlid yang melanda umat Islam saat itu sehingga menjadi jumud (tidak bisa berkembang), pembukaan pintu ijtihad, penghargaan terhadap akal (rasio, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits), kekuasaan Negara harus dibatasi dengan konstitusi (Undang-undang).

e.       Muhammad Iqbal
Seorang muslim India dengan karyanya The Reconstruction of Religious Though In Islam (pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam islam),
Menurut beliau Islam pada hakikatnya mengajarkan dinamisme. Al qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam, seperti matahari, bulan, pertukaran siang dan malam, dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tetap buta terhadap masa-masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. kemajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti di antara manusia yang tinggal di muka bumi ini, dan hal itu mengandung arti dinamis.







BAB III
KESIMPULAN

Semenjak umat Islam sadar akan ketertinggalannya dari bangsa lain, secara spontanitas muncullah ide-ide pembaharuan dari para intelektual muslim. Lambat laun ide-ide tersebut mendapat tanggapan dari umat islam, hal itu membuat bangsa barat menjadi khawatir oleh kebangkitan umat islam.
 Ide-ide pembaharuan tersebut di aplikasikan dengan melakukan studi keislaman, melakkan suatu gerakan pemurnian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai dengan ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits guna untuk mempelajari secara mendalam tentang apa hakikat Islam, apa saja pokok–pokok isi ajaran agama Islam dan apa saja sumber dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan dinamis.















BAB IV
PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.























DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2011. Metodologi Studi Islam. Rajawali Pers: Jakarta
Wahid Sy, Ahmad. 2008. Sejarah Kebudayaan Islam. Armico: Bandung
Muhaimin, Tadjab, Abdul Mudjib. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Abditama: Surabaya



[1] Lihat Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1977), cet. I, hlm. 49-50
[2] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam) (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1980), hlm 2
[3] Drs. Muhaimin. MA, Drs. Tadjab. MA, Drs. Abdul Mudjib, Dimensi-dimensi Studi Islam (Surabaya: Abditama, 1994), hlm. 11-12