Rabu, 27 Maret 2013

"PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM"

BAB I
PENDAHULUAN
  1. A.           Latar Belakang
Antropologi merupakan suatu objek dimana teori memiliki kedudukan yang sangat penting. Antropologi juga sering kali dianggap sebagai merupakan dimana teori yang terikat dengan praktik. Dalam teori ini memaparkan hakikat umum dari kajian antropologi, percabangan, dan lapangan kajiannya. Setiap pembahasan teori antropologi memiliki pertimbangan, penekanan, dan kebijakan sendiri untuk menggolong-golongkan dan memosisikan paradigma satu sama lain dalam antropologi. Keanekaragaman budaya  menggolongkan paradigma tersebut memiliki penentuan batas yg berbeda. Sering kali terjadi suatu paradigma yang digolongkan ke dalam paradigma konflik dalam structural-fungsionalisme, sehingga paradigma konflik tersebut secara relatif dapat dimasukkan ke dalam  kedua paradigma tersebut, yakni sebagai paradigma konflik dan juga paradigma struktural-fungsionalisme. Akan tetapi, dengan senantiasa menyadari adanya kerumitan tersebut, penggolongan paradigma antropologi itu sendiri mencangkup keanekaragaman budaya. Sebagaimana halnya persoalan yang dihadapi ketika menggolongkan teori-teori ke dalam paradigma, cabang, dan pendekatan yang mengandung persoalan yang sama. Dan pengetahuan antropologi ini tidak hanya berbeda dari pengetahuan folk melainkan juga dari psikologi, sosiologi, biologi dan sumber-sumber pengetahuan lain yang kurang lebih sistematik, mengenai kondisi ini manusia. Antropologi pada dasarnya juga memfokuskan masalah budaya yang mengkaji terhadap budaya umat manusia. Berdasarkan ruang lingkup kajian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa antropologi sosial bersumber dari ruang lingkup yang sama, karena masyarakat dan budaya merupakan satu kesatuan sistem yang tak terpisahkan, sehingga keduanya sering disebut antropologi sosial-budaya.
Kehadiran antropologi sosial-budaya (antropologi sosiokultural) relative masih sangat muda bila dibandingkan dengan sosial lainnya. Kehadirannya sejalan dengan kebutuhan kolonialisme sejak abad ke 18. Pada saat itu orang-orang eropa banyak membutuhkan informasi dan pengetahuan mengenai penduduk yang dijajah, baik mengenai kehidupan sosialnya, maupun kehidupan budayanya. Sejak itu antropologi berkembangnatau bergerak kea rah ilmu pengetahuan terapan yang sebelumnyahanya berkembang atau bergerak dikawasan kampus dan lembaga ilmu pengetahuan murni. Bersamaan dengan itu, pola-pola penelitian lapangan dengan menggunakan metode etnografi pun berkembang.
Dengan memahami kedudukan ini, kita an memperoleh pemahaman dasar mengenai interaksinya dengan pemikiran-pemikiran teori dalam disiplin-disiplin ilmu sosial lainnya, khususnya seperti sosiologi dan psikologi, yang sepanjang sejarah pembentukan antropologi besar pengaruhnya. Namun, selangkah lebih awal, penulis ingin membicarakan secara singkat mengenai gagasan yang mendasar mengenai ilmu sosial itu sendiri.

  1. B.           Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Definisi Antropologi menurut para ahli ?
  2. Bagaimana fase perkembangan Antropologi ?
  3. Bagaimana ranah kajian antropologi kontemporer ?
  4. Apa manfaat mengkaji ilmu Antropologi dalam Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI ANTROPOLOGI

Dalam definisi ini akan menjelaskan beberapa uraian  Antropologi. Antropologi berasal dari kata antrophos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Dan para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut :
-          William A. Haviland, Antropologi adalah studi tentang manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
-          Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Antropologi adalah Ilmu manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaan pada masa lampau.
-          Koentjaraningrat, antropologi adalah Ilmi yang mempelajari manusia pada umumnya mempelajari tentang aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
-          Definisi Antropologi menurut para ahli, Antropologi adalah ilmu tentang manusia yang ditinjaui dari sudut sejarah kebudayaannya, hokum ilmu yang meneliti sebab persengketaan dan cara penyelesaiannya, terutama pada masyarakat sederhana
-          Definisi Antropologi menurut pandangan para tokoh, Antropologi adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengenai masyarakat ( sebagai satuan sosial ) atau kebudayaan..
  1. B.   SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI ISLAM
Perkembangan Antropologi Fase ke I
Sekitar abad ke -15-16, bangsa-bangsa eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari cirri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang diskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau diskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan-bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, para permulaan abad ke -19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang Ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha – usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
Perkembangan Antropologi Fase ke II (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang sangat lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitive yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini, antroologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan masyarakat primitive dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Perkembangan Antropologi Fase ke III (awal abad ke-20)
                               Pada fase ini, Negara – Negara di Eropaberlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia, dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya , pemerintah kolonial Negara Eropa berusaha mencari- cari kelemahan suku asli untuk kemudian melakukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari nahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaan, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Perkembangan Antropologi Fase Ke Empat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Anntropologi ini berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia ke II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar Negara-negara di Dunia kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaran yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncul semangat Nasionalisme bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu-belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil keluar dari belenggu-belenggu penjajahan. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun Proses – proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi yang tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga keada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
  1. C.  RANAH KAJIAN ANTROPOLOGI
           
Dalam penjelasan ini ada beberapa tokoh yang mengemukakan tentang ranah kajian antropologi. Dalam pandangan Arendt ranah kajian antropologi merupakan salah satu yang mendasar dalam perspektif antropologi semenjak dibangunnya disiplin ini. “Peniruan manusia “ (human artifice) berupa kebudayaan adalah mekanisme adaptif primer dari spesies manusia. Sepanjang kariernya, Leslie White (1949;1959) juga mengemukakan gulatan tentang pemahaman kebudayan sebagai mekanisme ekstra-somatik, mekanisme penggunaan energi yang tergantung pada eksistensinya pada penggunaan symbol-simbol. Dan ada pula para ahli antropologi Clifford juga mengatakan sangat berpengaruh dalam pengembangan paradigma antropologi yang diusulkannya mengenai konsekuensi dan implikasi. Dari fakta tersebut bahwa “manusia adalah hewan yang melakukan simbolisasi, konseptualisasi, dan mencari makna.
Menjadi manusia berarti hidup di dunia yang “nyata” dan “artifisial” , atau di dunia yang dimiliki bersama sekaligus direbutkan dengan spesies hewan lainnya. Dengan kata lain, spesies manusia menghadapi pertahanan kehidupan manusia dan mempertahankan identitas manusia yang mana banyak melakukan berbagai aktivitas yang fungsi primernya mendefinisikan dan membatasi status manusia. Dan juga aktivitas – aktivitas yang ekspresi asal usulnya terletak pada kecenderungan manusia terhadap perwujudan makna-makna melalui simbol-simbol mengenai dunia.  Dengan dipertahankannya identitas manusia melibatkan aktivitas-aktivitas seperti seni, musik, dan ritual, dan meliputi isu-isu seperti pembentukan kepribadian dan formulasi pandangan dunia. Dalam ahli filsafat dan ahli sejarawan sosial Johan Huizinga juga menaruh perhatian pada dipertahankannya identitas manusia tatkala ia berargumen bahwa permainan adalah suatu landasan kebudayaan manusia: “ Kehidupan sosial dibentuk oleh bentuk-bentuk suprabiologi dalam bentuk permainannya, yang meningkatkan nilainya. Melalui permainan inilah masyarakat mengekspresikan interpretasinya dalam kehidupan dan dunia. Dalam kajian ini seharusnya dikaji dari perspektif ilmiah. Cara-cara bagaimana masalah-masalah yang diasosiasikan dengan dipertahankannya identitas manusia yang dapat dipelajari dari perspektif ilmiah.
Apabila diperhatikan secara lebih cermat, pembedaan yang tegas ini berupaya mempertahankannya kehidupan dan upaya mempertahankan identitas yang tidak lagi dapat digunakan kalau dikaitkan dengan aktifitas manusia. Semua, paling tidak sebagian besar, aktifitas manusia melibatkan dipeliharanya kehidupan maupun identitas bersama-sama. Antropologi juga mencangkup kegiatan keagamaan karena merupakan salah satu cara yang signifikan dimana manusia mendefinisikan diri mereka sebagai manusia, namun isi dan organisasi keyakinan keagamaan dan perilaku erat terkait dengan strategi kebudayaan tertentu mengenai adaptasi-sedangkan strategi yang fungsinya paling nyata dan langsung adalah dipertahankannya kehidupan manusia. Fenomena kematian karena ilmu sihir (voodoo) jarang dapat digolongkan semata-mata sebagai konsekuensi dari dipertahankannya kehidupan atau dipertahakannya manusia; kajian antropologi mengenai kematian karena voodoo menjelaskan gejala ini dalam konteks interaksi antara faali dan psikologi. Jelaslah hewan manusia adalah satu-satunya hewan yang dapat dibunuh dengan cara sugesti. Esensi yang mendasar dari kondisi keberadaan  manusia adalah saling terpadunya dua aspek, yakni dipertahankannya kehidupan manusia dan dipertahankannya identitas manusia.
Pembagian kedua dimensi ini penting dalam konteks pengalaman manusia. Alasannya adalah pertama, pembedaan ini cukup tepat untuk melihat perbedaan antara ranah-ranah kajian anropologi dan etnologiKedua, pembedaan ini berguna karena sebagian besar antropologi kontemporer, dalam praktik, cenderung membedakan keduanya tatkala menawarkan eksplanasi atau analisis antropologi. Dapat dikatakan bahwa semua anropologi memiliki pendapat yang semua bahwa kehidupan dan identitas manusia saling memengaruhi satu sama lain, tapi tatkala mereka harus mendefinisikan masalah penelitian, sebagian besar antropologi memilih untuk memfokus atau menekankan salah satu aspek. Sebagai akibat dari penekanan tersebut sering kali suatu kajian mendefinisikan subjeknya begitu sempit sehingga tidak lagi bisa mempelajari setiap bagian dari pengalaman manusia yang diketahui. Sehingga antropologi sebegitu jauh tidak berhasil mengembangkan satu paradigma yang mempelajari kedua masalah tersebut secara sepenuhnya terintegrasi.
Berikut ini akan ditunjukkan kegunaan pembedaan antara “dipertahankannya kehidupan manusia “ dan “depertahankannya identitas manusia” sehingga merujuk kepada dua contoh yang kontras satu sama lain. Pertama, marilah kita perhatikan contoh dari Roy Rappaport, “Ritual Regulation of Environmental Relations Among a New Guinea People”, yang merupakan pendekatan Antropologi yang berfokus pada masalah-masalah, konsekuensi-konsekuensi, dan imlikasi-implikasi yang dikaitkan dengan dipertahankannya kehidupan manusia. Artikel Rappaport dimaksudkan untuk menghadapi pandangan umum bahwa aktifitas ritual tidak memiliki efek praktis terhadap dunia luar selain fungsi sosiologis dan psikologis sebagai pemeliharaan kohesi sosial dan intensifikasi dari rasa takut. Rappaport menunjukkan bahwa siklus ritual Tsembaga memainkan peranan yang signifikan dalam penyesuaian diri orang Tsembaga terhadap lingkungan alam mereka. Secara spesifik, ia menunjukkan bahwa aktivitas ritual mengatur distribusi tanah, frekuensi perkelahian antarkelompok, dan distribusi protein hewani dari kelebihan jumlah babi dalam komunitas.
Rappaport menyadari bahwa ia mengabaikan keseluruhan isu “dipertahankannya identitas manusia “ (meskipun ia tidak menggunakanistilah itu,) dan ia mengutarakannya sebagai berikut :
“Ruang tidak memungkinkan saya untuk membahas korelasi ideologi (dari siklus ritual orang Tsembaga). Patut dicatat bahwa
  • orang Tsembaga tidak perlu mempersepsi semua efek empiris yang ingin dilihat antropolog mengalir dari perilaku ritual mereka. Konsekuensi empiris sebagaimana yang mereka dapat persepsi tidaklah sentral bagi rasionalisasi mengenai kegiatan ritus tersebut. Orang Tsembaga mengatakan bahwa mereka melakukan ritus untuk menata kembali hubungan-hubungan mereka dunia dengan supranatural. Kita hanya dapat menyatakan dalam hal ini bahwa perilaku yang mereka wujudkan ketika mengacu kepada “lingkungan kognisi” mereka-yang meliputi unsur-unsur lingkungan roh-roh nenek monyang-tampaknya sesuai dalam “lingkungan operasional”, yakni lingkungan materi yang dispesifikasi oleh antropolog melalui kegiatan pengamatan, termasuk pengukuran”.
Rappaport menegaskan dalam pengamatannya bahwasanya seperti ritual orang Tsembaga tak lain adalah perilaku adaptif sekelompok orang. Selain itu, secara ontologism Rappaport tidak salah dalam memandang ritual Tsembaga tidak lebih dari perilaku asalkan ia dapat menunjukkan konsekuensi-konsekuensi praktis dari perilaku tersebut. Akan tetapi, keputusunnya untuk memandang ritual orang Tsembaga sebagai tak lebih dari perilaku adaptif semata-mata adalah persoalan sudut pandang atau penekanan saja. Semua antropolog mungkin mengetahui atau menyadari bahwa ritual “lebih” dari sekadar perilaku adaptif karena tidak ada spesies lain yang mewujudkan aktifitas ritual dalam kaitannya dengan keyakinan kosmologi sebagai bagian dari strateginya bagi beradaptasi kepada lingkungan. Keyakinan kosmologi orang Tsembaga mungkin tidak relevan dengan efek praktis ritual Tsembaga, tetapi bukannya tidak relevan dengan apa yang dimaksud sebagai “menjadi orang Tsembaga”. Dengan memusatkan perhatian pada aspek “dipertahankan kehidupan manusia”, maka memungkinkan bagi kita untuk menunjukkan mengapa ritual-ritual dan kosmologi tertentu mengambil bentuk seperti orang Tsembaga, tetapi tidak mungkin untuk menunjukkan asal-usul perilaku ritual, kita perlu memusatkan perhatian pada aspek “dipertahankannya identitas manusia”.
Pokok penting antropologi dari ilustrasi di atas yang dijabarkan oleh Rappaport dan Geertz, sebagian besar antropolog menyempitkan lapangan penelitian dan analisis mereka tatkala menyoroti topic-topik tertentu. Kecuali ketika berupaya membangun etnografi yang komprehensif, sebagian antropolog niscaya memusatkan perhatian mereka pada masalah-masalah yang terkait baik yang dipertahankannya identitas manusia, banyak etnografi yang baik yang ditulis secara eksklusif dari salah satu dari kedua sudut pandang itu. Dalam melaksanakan penelitian ilmiah, ilmuwan mau tak mau harus memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari fenomena tertentu yang mereka pandang paling penting atau bernilai pada suatu (waktu ketika aspek-aspek tersebut mereka anggap terabaikan sebelumnya), yang suatu keputusan sebagian didasarkan pada kepentingan pribadi dan sebagian atas dasar komitmen paradigmatik.
Apakah antropolog memilih untuk memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan yang dikaitkan dengan dipertahankannya kehidupan manusia atau dipertahankannya identitas, mereka idealnya harus menyadari bahwa tidak ada eksplanasi antropologi yang lengkap hingga implikasi dari kedua masalah tersebut diperhatikan. Esensi dari perspektif antropologi, sekali lagi, adalah pengakuan bahwa masing-masing factor tersebut bermain. Ranah kajian antropologi terdiri dari tentang asal muasal, konsekuensi-konsekuensi, dan implikasi-implikasi dari upaya manusia untuk mempertahankan kehidupan dan identitas.
Penting untuk selalu diingat pada tingkatan ini bahwa pembedaan antara “dipertahankannya kehidupan manusia” dan dipertahankannya identitas manusia” tidak sejajar dengan perbedaan antara perilaku dan pikiran, etik, dan emik atau materialistik dan idealisme. Dipertahankannya kehidupan manusia dan identitas manusia mencakupi perilaku dan pikiran, keduanya dapat dipelajari baik dari perspektif etik maupun emik, dan pembedaan antara keduanya tidak ada kaitan apa-apa dengan argumentasi mengenai hakikat kausalitas kebudayaan. Melainkan, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk mengangkat karakter esensial dari kondisi manusia, dimana manusia itu terpisah dari semua bentuk kehidupan hewan lainnya dengan atau melalui “keartifisialan manusia”  sedangkan pada saat yang sama, hewan-hewan lainnya tetap terikat dengan fakta dan bentuk-bentuk kehidupan itu sendiri. “ Keartifisialan manusia “ itu, dalam perspektif antropologi, adalah kebudayaan, dan konsep kebudayaan itu merupakan unsur mendasar dalam perspektif antropologi. Secara dominan antropologi merupakan abstraksi atau paparan aspek dari realitas.
  1. D.     MANFAAT MENGKAJI ANTROPOLOGI DALAM ISLAM
Dalam mempelajari antropologi dalam islam kita dapat mengambil banyak ilmu didalamnya,manfaatnya begitu besar dalam kehidupan sosial.manfaat dari mengkaji antropologi itu sendiri yaitu :
  1. Kita dapat mengetahui kehidupan manusia seperti : sifat,  kebudayaan, bahasa/sastra, ras, bentuk dan lain-lain.
  2. Kita dapa mengetahui pola perilaku manusia dalam kehidupan bernasyarakat secara Universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap masyarakat (sukubangsa)
  3. Dapat mengetahui berbagai macam problem dalam bermasyarakat serta memiliki kepekaan terhadap kondisi-kondisi dalam masyarakat baik yang menyenangkan serta mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya.
  4. Dapat mengetahui peran masyarakat dalam identitas manusia.
  5. Kita dapat mengetahui sejarah manusia jaman-jaman dahulu.
  6. Kita dapat membentuk kepribadian dan formulasi pandangan dunia dengan melihat kejadian-kejadian yang telah lampau sebagai tolak ukur untuk masa yang akan dating.
  7. Kita dapat melestarikan kebudayaan nenek-nenek moyang kita, untuk dijadikan suatu karya besar yang bersejarah.
  8. Kita dapat menyelesaikan suatu masalah antar kelompok dengan mengetahui karakter masing-masing antar kelompok antar suku.
  9. Kita dapat mempertahankan kehidupan dan identitas tentang asal muasal manusia
Dari uraian manfaat mengkaji antropologi ini sangatlah penting bagi manusia untuk mengambil inisiatif dalam pemecahan suatu permasalahan yang terkandung dalam Antropologi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada hakikatnya manusia itu adalah suatu makhluk yang tak bisa dipisahkan satu sama lain,walaupun manusia terbentuk dari berjuta-juta karakter yang berbeda-beda. Dan demikianlah hal-hal yang dapat dikemukakan  tentang konsep-konsep kebudayaan, metode penelitian, dan kedudukan antropologi secara umum. Diharapkan makalah ini, dengan segala kekurangannya dapat menambah dan memperluas horizon dan wawasan, terutama yang berkaitan dengan persoalan menggunakan metode penelitian disilin ilmu antropologi dalam memahami budaya antar agama. Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus diingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis, selalu berubah. Tanpa adanya “gangguan” dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, aka nada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasi-variasi baru dalam tingkah laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut. Dengan memahami hal ini akan menambah para pemeluk agama bertoleransi terhadap perbedaan – perbedaan yang lokal. Dengan alasan dibawah ini bahwa jika aspek-aspek lokal harus diubah, akan terjadi perubahan-perubahan yang drastis dan menyeluruh dalam kebudayaan yang bersangkutan yang ujung-ujungnya hanya akan menghasilkan berbagai bentuk konflik yang merugikan masyarakat antar agama.
Sebagai akhir kata, mungkin dapat dikatakan bahwa pendekatan antropologi , pendekatan etnografi dalam upaya memahami dan mengkajin agama akan banyak sekali gunanya bagi para pemuka agama, da’i, serta para pemegang kebijaksanaan politik keagamaan di Indonesia. Untuk itu, kegiatan – kegiatan penelitian yang dilakukan haruslah dilandasi oleh kedalaman dan kesempurnaan pengetahuan mengenai antropologi. Sebab jika tidak, pemahaman yang dihasilkan akan dangkal dan bahkan salah pemahaman yang hanya menghasilkan berbagai kericuhan karena salah paham, dalam hubungan antar umat beragama maupun dalam hubungan antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Fedyani Saifuddin, PH.D. (2006). “Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma “.Jakarta:Kencana.
Koentjaraningrat, (1996). Pengantar Antropologi I.Jakarta: Penerbit  Cineka Putra
Koentjaraningrat,(1982). Sejarah Teori Antropologi.Jakarta: Penerbit Cineka Putra
Harsojo,(1984) .Pengantar Antropologi:Cetakan Kelima, Jakarta: Penerbit Cineka Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar