Minggu, 09 Juni 2013

interelasi wayang dan Islam



WAYANG
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Rokhmah Ulfah,M.Ag

Description: C:\Users\sudarso\Downloads\iain.jpg

Disusun :

1.  Akhlis Amalia (124211022)
2.  Alfian Suhendarsyah (124211023)


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Jauh sebelum datangnya agama di tanah Jawa atau lebih tepatnya 1500 SM atau lebih dikenal dengan zaman neolitik, seni budaya wayang sudah muncul di Jawa dalam bentuknya yang sederhana. Wayang adalah seni budaya tertua yang dimiliki bangsa Indonesia, banyak disebut oleh sumber-sumber sejarah, utamanya prasasti. Prasasti tertua yang memberi informasi perwayangan berasal dari masa pemerintahan Raja Airlangga, abad ke-10 Masehi. Hingga saat ini wayang terkenal hingga mancanegara dan menjadi sebuah budaya yang diakui Internasional.
 Munculnya wayang ditafsirkan karena lukisan bayangan manusia dapat menjadi tontonan yang menarik. Pada awalnya, gambar bayangan tersebut diwujudkan di atas daun tal. Karena daun tal dianggap terlalu kecil, selanjutnya gambar dipindahkan ke atas kulit lembu atau sapi.Gambar yang ditatah tersebut kemudian diberi latar kain putih. Dengan bantuan sinar lampu, penonton dapat melihat bayangan hitam pada layar. Itulah yang disebut pertunjukan wayang, yang artinya melihat bayangan (wayangan).
Secara tradisional pertunjukan wayang dimainkan pada malam hari. Hanya untuk kepentingan pariwisata atau menghibur tamu-tamu mancanegara, wayang sesekali dipertontonkan pada siang hari. Waktunya pun jauh dipersingkat, tidak lagi semalam suntuk sebagaimana bentuk aslinya. Hal di luar pakem ini pernah beberapa kali dilakukan oleh pengelola Taman Mini dan museum.Alasan diselenggarakan pada malam hari adalah karena bila hari sudah gelap, maka dalang dapat mengusir roh-roh yang gentayangan. Ketika itu profesi dalang sangat dihormati karena dianggap sebagai “orang pintar”. Agar bisa berhubungan dengan roh nenek moyang, maka tempat yang dipilih adalah tempat khusus, angker, atau sakral, lengkap dengan pemujaannya. Artefak-artefak yang banyak dijadikan sarana itu adalah dolmen (meja batu), menhir (tugu batu), dan takhta batu yang merupakan peninggalan dari zaman prasejarah.[1]








2.      Rumusan Masalah.
Ø  Asal-usul Wayang.
Ø  Macam-macam Wayang.
Ø  Nilai-nilai Wayang.
Ø  Wayang sebagai media penyebaran Islam.






















BAB II
Pembahasan
A.    Asal-usul Wayang.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya.

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukanwayang.Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

B.     Macam-macam Wayang.

Wayang terdiri dari dua jenis yaitu, wayang kulit dan wayang golek.

                               I.            Wayang Kulit.

Wayang kulit adalah salah satu jenis wayang yang ada di Indonesia, yang berarti gambar atau tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari kulit, kayu dan lain-lain untuk mempertunjukkan suatu lakon.
Wayang kulit dalam bentuk aslinya dipergunakan untuk upacara agama. Pada abad ke-11 sudah mulai populer di kalangan rakyat. Sejak tahun 1058, bahkan sejak tahun 778 atau lebih tua lagi, sudah ada wayang atau ringgit. Angka tahun 1058 disalin oleh Brandes berdasarkan angka tahun dalam prasasti di Bali yang memberikan bukti adanya pertunjukan wayang.

Pada periode penyebaran agama Islam di Jawa, para muballigh (wali songo) dalam menjalankan dakwah Islam telah memakai alat berupa wayang kulit. Salah seorang wali songo yang piawai memainkan wayang kulit sebagai media penyebaran Islam adalah Sunan Kalijaga. Mengingat cerita itu sarat dengan unsur Hindu-Budha, maka Sunan Kalijaga berusaha memasukkan unsur-unsur Islam dalam pewayangan. Ajaran-ajaran dan jiwa keIslaman itu dimasukkan sedikit demi sedikit. Bahkan lakon atau kisah dalam pewayangan tetap mengambil cerita Pandawa dan Kurawa yang mengandung ajaran kebaikan dan keburukan.

                            II.            Wayang Golek

Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).

Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.








[1] http://wayang indonesia.com/2013/14/05.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar