Rabu, 22 Mei 2013

hubungan agama dan negara

BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Di kalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa existensi negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Artinya, menurut Husain Muhammad (2000 :88), negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhanya.
Hubungan antara agama dan negara menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Pada hakikatnya, negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri ( Kaelani, 1999: 91-93)
Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara, adalah juga makhluk sosial dan makhlk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepadanya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama atau keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara.[1]

















2.      Rumusan Masalah
1)      Macam-macam Konsep hubungan agama dan negara.
2)      Konsep relasi agama dan negara.
3)      Hubungan agama dan negara menurut Islam.

























BAB II
PEMBAHASAN
       I.            Macam-macam konsep hubungan agama dan negara.
Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/ paham, antara lain :

1.   Paham teokrasi.
 Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua (2) hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua (2) bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan.

3.      Paham sekuler.
 Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistim kenegaraan dengan agama. Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistim dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, seperti paham teokrasi, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensif (campur tangan) dalam urusan agama.

4.      Paham komunis.
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Agama dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujudnyataan angan-angan) makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi. Karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.

Dalam Islam, hubungan agama dan negara masih menjadi perdebatan diantara pakar-pakar Islam hingga kini, yang diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah) menurut Azra.
Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistim kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara. Antara lain :

1.      Paradigma integralistik.
      Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.

2.      Paradigma Simbiotik.
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

3.      Paradigma sekularistik.
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).[2]


    II.            Konsep relasi agama dan negara
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
1) Paradigma integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu dan dinyatakan bahwa negara merupakan suatu lembaga.
2) Paradigma Simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling membutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at)
3) Paradigma Sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki dan satu sama lain memiliki garapannya bidangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus di pisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka hokum positif yang berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia.Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agam dan negara dapat digolongkan menjadi 2 : 
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam.Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. 
Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1.      Struktural , yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.

2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.

3. Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.

4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
 Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia. Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit.Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya.Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alas an yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam dan negara.[3]
 III.            Hubungan agama dan negara menurut Islam.
Dalam islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini dianatara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:6), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.
Masih masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan  [agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama (din) dengan politik (siyasah) dikalangan umat Islam, terlebih-lebih dikalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat Ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti itu yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengetian terbatas pada hal – hal yag berkenaan dengan bidang-bidang ilahiyah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Al-Qur’an dan Hadits tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.
Tentang hubungan atara agama dan negara dalam Islam, menurut Munawir Sjadzali (1990:235-236), ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang menganggap bahwa agama Islam adalalh agama Paripurna, yang mencangkupsegala-galanya, termasuk masalah – masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya.
Aliran Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad tidak  punya misi untuk mendirikan negara.
Aliran Ketiga, berpendapat bahwa Islam tidak mencangkup  segala-galanya, tapi mencangkup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Oleh karena iti, dalam bernegara, umat Islam harus mengembangkan  dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan secara garis besar oleh Islam.
Sementara itu, Hussein Muhammad (2000:88-94) menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua model hubungan antara agama dan negara. Model pertama, ia sebut sebagai hubungan intergralistik, dan yang kedua ia sebut hubungan simbiosis-mutualistik.
Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana agama dan negara mempunyai hubungan yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integral). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali dalam Islam bahwa tidak mengenal pemisahan agama , politik atau negara. Konsep seperti ini sema dengan konsep teokrasi.
Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model hubungan agama dan negara model ini, masih menurut Hussein Muhammad (2000:92-94), menegaskan bahwa atara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutukan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik dan tertib. Hal ini hanya terlaksana bila ada lembaga yang berma negara. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam bernegara.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manusia beragama karena mereka memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya didunia maupun diakhirat. Dengan agama, manusia juga bias mendapatkan nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.
Dan perlu disadari bahwa manusia sebagai warga Negara, adalah juga makhluk social dan makhluk tuhan. Sebagai makhluk social manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaanya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama atau keyakinan yang dianutnya.

B.     Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.

DAFTAR PUSTAKA
[1] DR. Dede Rosyada, MA., pendidikan kewarganegaraan,jakarta 2000.
Thaba,Abdul Aziz, Islam dan Negara, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara, Jakarta : Paramadina, 1998.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta : UI Press, 1990.

2 komentar: