BAB
I
PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Di kalangan kaum muslimin, terdapat
kesepakatan bahwa existensi negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya
kehidupan bermasyarakat. Artinya, menurut Husain Muhammad (2000 :88), negara
diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat manusia secara
bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan
antara masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhanya.
Hubungan antara agama dan negara
menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Pada
hakikatnya, negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan
sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena
itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula,
sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam
hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan
demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia
adalah pendiri negara itu sendiri ( Kaelani, 1999: 91-93)
Perlu disadari bahwa manusia
sebagai warga negara, adalah juga makhluk sosial dan makhlk Tuhan. Sebagai
makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan
kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai
kewajiban untuk mengabdi kepadanya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang
diajarkan oleh agama atau keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan
dengan negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan
dengan Tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh
karena itu ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara.[1]
2. Rumusan
Masalah
1)
Macam-macam
Konsep hubungan agama dan negara.
2)
Konsep relasi
agama dan negara.
3)
Hubungan agama
dan negara menurut Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Macam-macam
konsep hubungan agama dan negara.
Dalam
memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan
negara menurut beberapa aliran/ paham, antara lain :
1. Paham teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan agama
dan negara digambarkan sebagai dua (2) hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara
menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa
dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini
sebagai manifestasi firman Tuhan.
Dalam
perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua (2) bagian, yakni paham
teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi
langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung. Adanya
negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Dan oleh karena itu yang
memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung,
yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang
memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan.
3. Paham
sekuler.
Paham sekuler memisahkan dan
membedakan antara agama dan negara. Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara
sistim kenegaraan dengan agama. Negara adalah urusan hubungan manusia dengan
manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan
Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara
sekuler, sistim dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma
agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan
agama atau firman-firman Tuhan, seperti paham teokrasi, meskipun mungkin
norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini
memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler
membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan
negara tidak intervensif (campur tangan) dalam urusan agama.
4. Paham
komunis.
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu
kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan
manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat
negara. Agama dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujudnyataan
angan-angan) makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi
dalam negara adalah materi. Karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah
materi.
Dalam Islam, hubungan agama dan negara masih
menjadi perdebatan diantara pakar-pakar Islam hingga kini, yang diilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara
(dawlah) menurut Azra.
Banyak para
ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistim kepercayaan
dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan
dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang
ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan
politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep
hubungan agama dan negara. Antara lain :
1. Paradigma
integralistik.
Menurut paradigma integralistik,
konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated).
Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut
oleh kelompok Islam Syi’ah.
2. Paradigma
Simbiotik.
Menurut
paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya,
negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan
moral, etika, dan spiritualitas.
3. Paradigma
sekularistik.
Menurut
paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara.
Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).[2]
II.
Konsep relasi agama dan negara
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami
oleh
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
1) Paradigma integralistik
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
1) Paradigma integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu dan dinyatakan bahwa negara
merupakan suatu lembaga.
2) Paradigma Simbiotik
2) Paradigma Simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi
saling membutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini
tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh
hukum agama (syari’at)
3) Paradigma Sekularistik
3) Paradigma Sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki dan satu sama lain memiliki garapannya bidangnya masing-masing.
Sehingga keberadaannya harus di pisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka hokum
positif yang berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari kesepakatan
manusia.Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan
persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk
Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi
perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal
tersebut maka hubungan agam dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan
adanya ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai
contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar
yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat
dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan
agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak
mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan,
nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan
membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya,
aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama
negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai
kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara
tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang
berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa
pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan
tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan
sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga
periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk
mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an,
kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada
sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru (
kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di
mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam
menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu
memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber
ideologi dalam menjalankan pemerintahan
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan
agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan
untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari
bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara
mengakomodasi islam.Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik
akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan
tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair,
menjadi lebih akomodatif dan integratif.
Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam
serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian
(besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang
bersifat:
1. Struktural , yaitu dengan semakin terbukanya
kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang
dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3. Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya
infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan
“tugas-tugas” keagamaan.
4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu
menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik
negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam
politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus
diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak
hubungan negara dan Islam politik di Indonesia. Alasan Negara berakomodasi
dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat
diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup
rumit.Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang
tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang
sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya.Ketiga, adanya perubahan
persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan
alas an yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun
terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang
berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi
baru Islam
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang
lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat
Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara,
terutama dalam masalah ideologi Pancasila.Sesungguhnya sintesa yang
memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan
praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan
ketegangan antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan
aktivisme politik Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh
generasi baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa
antara Islam dan negara.[3]
III.
Hubungan agama dan negara menurut Islam.
Dalam islam, hubungan
agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini dianatara
para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:6), perdebatan itu telah
berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.
Masih masih menurut
Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan [agama dan negara ini diilhami oleh hubungan
yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Dalam
bahasa lain, hubungan antara agama (din) dengan politik (siyasah) dikalangan
umat Islam, terlebih-lebih dikalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat
Indonesia, pada dasarnya bersifat Ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu,
karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada
pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada
tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti itu yang
dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Sumber dari hubungan
yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengetian
terbatas pada hal – hal yag berkenaan dengan bidang-bidang ilahiyah, yang
bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan (siyasah) pada umumnya
merupakan bidang prafon atau keduniaan.
Selain hal-hal yang
disebutkan di atas, kitab suci Al-Qur’an dan Hadits tampaknya juga merupakan
inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri
menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga
menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan
negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.
Tentang hubungan
atara agama dan negara dalam Islam, menurut Munawir Sjadzali (1990:235-236),
ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang menganggap bahwa agama
Islam adalalh agama Paripurna, yang mencangkupsegala-galanya, termasuk masalah
– masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak dapat dipisahkan dari negara,
dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya.
Aliran Kedua,
mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak
mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi
Muhammad tidak punya misi untuk
mendirikan negara.
Aliran Ketiga,
berpendapat bahwa Islam tidak mencangkup
segala-galanya, tapi mencangkup seperangkat prinsip dan tata nilai etika
tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Oleh karena iti, dalam
bernegara, umat Islam harus mengembangkan
dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan secara garis besar
oleh Islam.
Sementara itu,
Hussein Muhammad (2000:88-94) menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua model
hubungan antara agama dan negara. Model pertama, ia sebut sebagai hubungan
intergralistik, dan yang kedua ia sebut hubungan simbiosis-mutualistik.
Hubungan
integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana agama dan
negara mempunyai hubungan yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integral). Ini juga
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali dalam Islam bahwa tidak
mengenal pemisahan agama , politik atau negara. Konsep seperti ini sema dengan
konsep teokrasi.
Model hubungan kedua
adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model hubungan agama dan negara model
ini, masih menurut Hussein Muhammad (2000:92-94), menegaskan bahwa atara agama
dan negara terdapat hubungan yang saling membutukan. Menurut pandangan ini,
agama harus dijalankan dengan baik dan tertib. Hal ini hanya terlaksana bila
ada lembaga yang berma negara. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan
berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan
amoral dalam bernegara.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia beragama
karena mereka memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan
petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya didunia maupun diakhirat. Dengan agama,
manusia juga bias mendapatkan nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal
yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.
Dan perlu
disadari bahwa manusia sebagai warga Negara, adalah juga makhluk social dan
makhluk tuhan. Sebagai makhluk social manusia mempunyai kebebasan untuk
memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaanya. Namun, sebagai makhluk
Tuhan, manusia mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya dalam bentuk penyembahan
atau ibadah yang diajarkan oleh agama atau keyakinan yang dianutnya.
B. Penutup
Demikianlah
makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan
kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
DR. Dede Rosyada, MA., pendidikan kewarganegaraan,jakarta 2000.
Thaba,Abdul Aziz, Islam dan Negara, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara, Jakarta : Paramadina, 1998.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta : UI Press, 1990.
Terima ksih..sangat membantu.. :-)
BalasHapusterima kasiih
BalasHapus